Friday, August 23, 2013

Pemisahan Sebagai Salah Satu Metode Restrukturisasi


Disusun Oleh Yonathan A. Pahlevi

Pendahuluan
Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksananya.[1]

Seperti yang diketahui, mendirikan suatu perusahaan atau perseroan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam mendirikan suatu perusahaan  atau perseroan dibutuhkan uang dan waktu dalam menciptakan bisnis yang sungguh-sungguh ada (secara khusus dengan membentuk badan usaha atau kemitraan) dalam mendapatkan perdanaan awal, untuk membeli atau menyewa aset yang diperlukan, untuk memadukan aset fisik secara bersamaan ke dalam perseroan yang produktif, untuk merekrut dan melatih tenaga kerja, untuk membangun hubungan dengan konsumen dan supplier, lalu yang lebih umum lagi adalah untuk membangun kemauan dan pengenalan nama.[2]

Tidak semua usaha perseroan berhasil seperti yang diharapkan, meskipun banyak juga perseroan yang berhasil. Perseroan yang kurang atau tidak berhasil ditandai oleh penurunan kinerja bisnis mereka dari tahun ke tahun. Walaupun tidak semua perseroan yang menurun kinerja bisnisnya berakhir dengan kebangkrutan, namun apabila tidak diadakan tindakan korektif yang tepat tidak jarang mereka terpaksa menutup usahanya. 

Kecuali disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yang akut seperti bencana alam atau krisis ekonomi, krisis kinerja bisnis perseroan tidak pernah terjadi mendadak. Krisis kinerja bisnis yang ditandai oleh menurunnya likuiditas keuangan, solvabilitas dan profitabilitas merupakan satu proses. Hal ini berkembang sedikit demi sedikit dari tahun ke tahun, dan akan menjadi semakin parah bilamana tidak cepat ditangani secara professional.[3]

Penurunan kinerja bisnis, termasuk penurunan kondisi keuangan timbul karena berbagai macam faktor intern dan ekstern perseroan. Beberapa di antara faktor-faktor penyebab tersebut adalah:[4]
1.        Menurunnya jumlah penjualan dari tahun ke tahun;
2.        Jumlah piutang dagang meningkat secara tidak proporsional dibandingkan dengan peningkatan jumlah penjualan;
3.        Menumpuknya jumlah persediaan bahan baku, barang setengah jadi, dan barang jadi;
4.        Struktur pendanaan operasi bisnis yang kurang sehat, jumlah utang terlalu besar dibandingkan dengan jumlah modal sendiri (meningkatnya debts to equity ratio);
5.        Meningkatnya jumlah biaya operasional;
6.        Manajemen atau karyawan menyalahgunakan harta perseroan untuk memenuhi kebutuhan pribadi;
7.        Krisis ekonomi nasional, regional, maupun internasional;
8.        Kehidupan politik nasional dan/atau internasional yang tidak stabil;
9.        Bencana alam.

Faktor pertama sampai dengan faktor keenam merupakan faktor internal, sedangkan faktor ketujuh sampai faktor kesembilan merupakan faktor eksternal. Salah satu cara yang dapat digunakan perusahaan untuk mengatasi menurunnya kondisi keuangan perusahaan karena faktor-faktor tersebut adalah dengan melakukan restrukturisasi.

Rumusan Masalah

Paper ini akan membahas restrukturisasi PT terkait dengan pengertian, tujuan, maupun metode-metodenya. Akan tetapi pembahasan akan lebih difokuskan pada pemisahan sebagai salah satu metode restrukturisasi untuk mendalami beberapa hal, antara lain:
1. Apakah yang dimaksud dengan restrukturisasi?
2. Bagaimana penerapan pemisahan sebagai metode dalam melakukan restrukturisasi?

Restrukturisasi

Yang dimaksud dengan “reorganisasi dan/atau restrukturisasi”, antara lain Penggabungan,
Peleburan, Pengambilalihan, kompensasi piutang, atau Pemisahan.[5] Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, pasal-pasal mengenai restrukturisasi PT sebagian besar terdapat dalam BAB VIII yang dimulai dari Pasal 122 sampai dengan Pasal 137.

Restrukturisasi dilakukan dengan wajib memperhatikan kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan PT, kreditor dan mitra usaha lainnya dari PT, masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha. Direksi PT yang melakukan restrukturisasi wajib mengumumkan ringkasan rancangan restrukturisasi paling sedikit dalam satu surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan PT yang akan melakukan restrukturisasi dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan RUPS. Dalam jangka waktu paling lambat 14 hari setelah pengumuman tersebut, kreditor dapat mengajukan keberatan kepada PT yang melakukan restrukturisasi, lebih dari 14 hari dianggap menyetujui. Selama penyelesaian keberatan kreditor tersebut belum tercapai, maka restrukturisasi tidak dapat dilaksanakan.

Rancangan restrukturisasi yang telah disetujui RUPS dituangkan ke dalam akta penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan yang dibuat dihadapan notaris dalam bahasa Indonesia. Akta pengambilalihan saham yang dilakukan langsung dari pemegang saham wajib dinyatakan dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Akta peleburan menjadi dasar pembuatan akta pendirian PT hasil peleburan.

Terdapat beberapa alasan bagi suatu perseroan untuk melakukan restrukturisasi, antara lain:[6]
1.        Persaingan.
Dalam lingkungan bisnis yang persaingannya begitu sengit, penguasaan banyak bidang usaha merupakan suatu kemewahan yang makin lama makin mahal. Para manajer dewasa ini mau tidak mau harus terus berpacu dengan para saingan. Semakin sukses seseorang akan makin banyak melihat kelemahannya sendiri. Praktis semua aspek bisnis apakah itu harga atau kualitas produk, tingkat inovasi, kualitas pelayanan, dan sebagainya merupakan subjek persaingan yang tiada henti.
2.        Fleksibiltas.
Perseroan sekarang ini senantiasa dihadapkan pada dua pilihan: tanggapan atau kandas. Kecepatan pemberian reaksi semakin menentukan kelangsungan hidup dan keberhasilan perseroan. Rentetan kemajuan teknologi di bidang informasi, produksi dan sistem distribusi, serta meningkatkan tuntutan konsumen akan keragaman telah menimbulkan pergeseran dalam pola kegiatan bisnis. Sebagai akibatnya, perseroan yang melakukan diversifikasi dihadapkan pada masa penuh tekanan. Sulit untuk menggapai semuanya sekaligus.
3.        Biaya awal yang begitu tinggi.
Begitu banyak sumber daya yang habis sebagai biaya-biaya Perseroan yang sebenarnya kurang perlu. Pos-pos biaya ini bukan hanya kurang perlu, tapi terkadang bahkan bersifat merusak. Dalam rangka mencari-cari pembenaran atas dikeluarkannya pos-pos biaya tersebut, maka perseroan sering melanggar program-program akuisisi yang tidak memberi nilai tambah sama sekali untuk para pemegang saham. Apa yang ada dalam akuisisi semacam itu hanya sesuatu yang menarik, dramatis, dan glamor. Sebagai contoh, dalam laporan dari suatu perseroan yang telah melakukan diversifikasi terdapat sebuah pos yang disebut “biaya-biaya perseroan" (corporate expense) yang hampir berjumlah $200 juta. Bandingkan jumlah ini dengan pendapatan bersih yang hanya mengalami peningkatan sekitar 15% per tahun dalam periode yang sama. Bila biaya-biaya Perseroan ini dihitung dengan angka setelah dipotong pajak dan rasio harga/pendapatan Perseroan diterapkan pada total biaya, akan didapat biaya keseluruhan yang mencapai $1,4 miliar. Kalaupun sebagaian biaya itu memang perlu dikeluarkan, jelas ada banyak pemborosan.

Restrukturisasi tidak selalu dilakukan dalam hal perusahaan mengalami masalah finansial atau dalam kondisi kritis. Karena pada dasarnya restrukturisasi dilakukan untuk mendapatkan pasar, baik pasar dalam arti konsumen atas barang hasil produksi maupun pasar dalam arti sumber-sumber bahan modal. Restrukturisasi dilakukan untuk menghadapi tantangan bisnis yang semakin berkembang baik pada masa sekarang maupun masa mendatang. Melalui restrukturisasi perusahaan, pengusaha atau pelaku bisnis dapat melakukan ekspansi usaha, memperbesar aset dan skala usaha, menguasai pasar dan bahan baku, serta merestrukturisasi perusahaan yang sedang bermasalah. Dalam hal demikian restrukturisasi lebih merupakan sebuah langkah pengembangan perusahaan daripada sebuah langkah penyelamatan.

Dalam pengadaan restrukturisasi terhadap perseroan harus terdapat adanya  prinsip keterbukaan. Pelaksanaan prinsip keterbukaan ini sangat penting untuk dilakukan karenaberguna meningkatkan kepercayaan investor atau publik khususnya terhadap pasar modal, kemudian dengan adanyaprinsip keterbukaan dapat berfungsi juga untuk menciptakan mekanisme pasar yang efisien. Filosofi ini di dasarkan pada konstruksi pemberian informasi secara penuh sehingga menciptakan pasar modal yang efisien yaitu harga saham sepenuhnya merupakan refleksi dari seluruh informasi yang tersedia.[7]

Tujuan restrukturisasi

Biasanya merger, konsolidasi, dan akuisisi ditempuh oleh perusahaan-perusahaan besar untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan karena cara-cara tersebut dapat dilakukan untuk tujuan-tujuan, antara lain:[8]
  1. Membeli product line atau lines untuk melengkapi product lines dari perusahaan yang akan mengambil alih atau menghilangkan ketergantungan perusahaan tersebut pada product lines atau service lines yang ada pada saat ini;
  2. Untuk memperoleh akses pada teknologi baru atau teknologi yang lebih baik yang dimiliki oleh perusahaan yang menjadi objek merger, konsolidasi, atau akuisisi;
  3. Memperoleh pasar atau pelanggan-pelanggan baru yang tidak dimilikinya tetapi dimiliki oleh perusahaan yang menjadi objek merger, konsolidasi, atau akuisisi;
  4. Memperoleh hak-hak pemasaran dan hak-hak produksi yang belum dimilikinya namun dimiliki oleh perusahaan yang menjadi objek merger, konsolidasi, atau akuisisi;
  5. Memperoleh kepastian atas pemasokan bahan-bahan baku yang kualitasnya baik yang selama ini dipasok oleh perusahaan yang menjadi objek merger, konsolidasi, atau akuisisi;
  6. Melakukan investasi atas keuangan perusahaan yang berlebih dan tidak terpakai (idle);
  7. Mengurangi atau menghambat persaingan;
  8. Mempertahankan kontinuitas bisnis.
Menurut ketentuan Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tujuan restrukturisasi adalah untuk kepentingan:
  1. Meningkatkan kinerja dan nilai perseroan.
  2. Memberikan manfaat berupa deviden  dan pajak kepada Negara.
  3. Menghasilkan produk dan layanan dengan karya yang kompetitif kepada konsumen.
  4. Memudahkan privatisasi.
Jenis dan Metode Restrukturisasi

Dalam banyak kasus krisis keuangan yang dihadapi perseroan milik negara dan perseroan swasta dapat diatasi dengan jalan melakukan  restrukturisasi. Strategi restrukturisasi yang diterapkan masing-masing perseroan tidak sama, sebab strategi restrukturisasi itu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan strategi  restrukturisasi adalah:[9]
1)  Tingkat krisis yang dihadapi perseroan.
2)  Penyebab utama krisis tersebut.
3)  Pengorbanan yang harus diberikan pemilik perseroan.
4)  Manfaat yang diperkiraan dapat diperoleh.

Untuk kasus-kasus tertentu kadang-kadang diperlukan kombinasi strategi restrukturisasi. Restrukturisasi melibatkan para pemilik perseroan secara langsung. Dalam menjalankan tugas tersebut mereka dapat dibantu dewan komisaris dan manajemen perseroan. Adapun bentuk restrukturisasi yang banyak dipergunakan untuk mengatasi krisis keuangan perseroan adalah sebagai berikut:[10]

1.      Restrukturisasi harta perseroan (reorganization of assets)
Salah satu cara untuk memperbaiki likuiditas keuangan perseroan adalah menata kembali harta yang dimiliki perseroan. Hal itu dilakukan dengan jalan megurangi jenis atau jumlah harta tetap, termasuk sarana produksi yang kurang berguna atau tidak efisien lagi. Harta tetap seperti itu dapat jual kepada pihak ketiga. Dengan menjual harta tetap yang kurang berguna atau tidak efisien bagi perseroan akan mendapat injeksi dana segar. Dana tersebut dapat dipergunakan untuk mendanai kebutuhan modal kerja dan melunasi utang-utang yang berbunga tinggi. Dengan demikian kegiatan bisnis perseroan dapat diperlancar, sedangkan biaya bunga pinjaman dapat berkurang. Disamping itu beban biaya penyusutan juga akan berkurang. Manfaat yang diperoleh dengan strategi ini adalah likuiditas keuangan dan profitabilitas perseroan dapat diperbaiki.
Restrukturisasi harta perseroan juga dapat dilakukan dengan jalan memperbaiki manajemen persediaan, antara lain dengan meminimalisir jumlah persedian bahan baku, bahan pembantu dan barang jadi. Manfaat yang diperoleh adalah jumlah kas/bank yang terikat dalam persediaan dapat diminimalisir. Jalan lain mereorganisir harta perseroan adalah memangkas atau menghapuskan harta perseroan yang bernuansa pemborosan dan menjadi sumber pemborosan biaya. Contoh harta perseroan yang berbau pemborosan adalah gedung kantor yang terlalu luas dan mewah, laboratorium riset dan pengembangan yang terlalu canggih, villa megah untuk tempat peristirahatan pemimpin perseroan, kendaraan dinas yang terlalu banyak jumlahnya, terlalu mewah dan terlalu mahal pajak dan biaya pemeliharaannya.
Jumlah piutang dagang wajib diminimalisir. Hal itu dapat dilakukan dengan jalan memperbaiki manajemen piutang dagang. Pemberian kredit penjualan kepada distributor dilakukan secara selektif. Kegiatan penagihan piutang dagang dilakukan secara lebih intensif.

2.      Divestasi
Divestasi adalah cara memperbaiki likuiditas keuangan perseroan dengan jalan menjual sebagian hak kepemilikan perseroan kepada pihak ketiga. Dengan menjual sebagian hak kepemilikan perseroan dapat diperoleh dana segar untuk memperbaiki likuidasi perseroan, James C Van Horn mengatakan bahwa divestasi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain dengan:[11]
a)       Menjual bagian tertentu perseroan (partial sell-offs)
Dalam partial sell-offs pemilik perseroan menjual bagian tertentu perseroannya kepada perseroan lain. Dengan menjual bagian tertentu perseroannya mereka dapat memperoleh dana segar untuk dipergunakan menambah dana modal kerja atau melunasi utang berbunga. Sebaiknya bagian yang dijual itu adalah bagian yang telah lama memberi beban keuangan yang terlalu berat, misalnya membebani biaya operasional yang terlalu besar sehingga profitabilitas perseroan secara keseluruhan terganggu. Partial-sell offs hanya dapat menarik minat pembeli bilamana mereka yakin bagian perseroan yang akan dijual dapat memperkuat organisasi bisnis perseroannya.
b)      Menjual anak perseroan (corporate spin-offs)
Corporate spin-offs dilakukan oleh grup perseroan yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Dalam corporate spin-offs perseroan menjual sebagian saham anak perseroan mereka kepada pihak ketiga. Corporate spin-offs juga dapat dilakukan dengan jalan memisahkan bagian tertentu perseroan menjadi sebuah perseroan lain yang independen. Selanjutnya saham perseroan baru tersebut dibagikan secara prorate kepada para pemegang saham perseroan lama. Dengan strategi ini bagian perseroan yang dipisahkan wajib mengurusi sendiri kebutuhan keuangan mereka.
Sedangkan Fred Weston mengambil contoh IBM sebagian perseroan yang telah melakukan divestasi corporate spin-offs agar dapat mengelola keuangan perseroan mereka secara lebih efisien. Pada tahun 1986 IBM telah menjual product centers  dan bagian penjualan eceran mereka di Amerika Serikat. Selanjutnya pada tahun 1988 IBM menjual bisnis pengkopian (copier business) mereka kepada Eastmant Kodak.[12] Dalam corporate spin-offs anak perseroan yang dijual atau bagian perseroan yang dipisahkan akan dikelola manajemen baru. Dengan demikian belum tentu perseroan lama dapat mengharapkan sinergi kerjasama dengan perseroan baru ini.
c)  Menjual saham biasa yang dimiliki oleh para pemegang saham kepada publik (equit carve-outs)
Equity carve-outs hampir sama dengan corporate spin-offs. Bedanya dalam equity carve-outs saham anak perseroan tidak ditawarkan kepada perusahaan lain secara individual, melainkan ditawarkan kepada publik melalui busa efek. Equity carve-outs juga disebut split-off intial public offering (IPOs). Apabila perseroan induk masih ingin menguasai anak perseroan yang mereka jual, saham yang ditawarkan kepada publik hendaknya tidak mencapai 50% dari seluruh saham biasa.
Dengan demikian perseroan induk masih dapat mengawasi kinerja manajemen perseroan yang dijual sebagian itu. Apabila perseroan berhasil menjual sebagian saham anak perseroannya, mereka akan dapat mengumpulkan dana segar tanpa bunga. Seperti halnya partial sell-offs dan corporate spin-offs dana segar tersebut dapat dipergunakan untuk menambahkan dana modal kerja dan membayar kembali pinjaman berbunga. Disamping untuk mengatasi kesulitan keuangan, kadang-kadang equit carve outs dipergunakan untuk mendapatkan dana murah guna perluasan perseroan yang sehat usahanya.

3.      Restrukturisasi keuangan
Restrukturisasi keuangan  merupakan upaya menyelamatkan perseroan yang dilakukan bersama-sama oleh perseroan dan bank kreditur mereka. Dalam kasus ini karena menghadapi kesulitan keuangan, perseroan tidak mampu membayar bunga dan/atau cicilan kredit yang telah mereka terima. Untuk mencengah kredit berkembang menjadi kredit macet dan tidak terbayar sama sekali, kadang-kadang bank bersedia membantu nasabah mereka merestrukturisasikan keuangannya.
Ciri khusus upaya menyehatkan kondisi keuangan ini adalah dibutuhkan jangka waktu lama. Bank Kreditur hanya bersedia membantu melakukan restrukturisasi  kredit bilamana mereka melihat masa depan perseroan debitur masih dapat diperbaiki. Oleh karena itu sebelum memutuskan hal itu mereka akan mempelajari secara mendalam perkembangan kegiatan usaha perseroan debitur dan masalah yang mereka hadapi.[13]
Tujuan utama restrukturisasi keuangan adalah meringankan beban keuangan, dalam hal ini bunga pinjaman dan pembayaran cicilan kredit. Salah satu bentuk restrukturisasikeuangan dengan bantuan bank dilakukan dengan jalan menghapuskan saldo bunga tertunggak. Cara lain adalah dengan penjadwalan kembali pembayaran cicilan kredit. Dengan cara yang kedua ini jangka waktu kredit dan pembayaran cicilan diperpanjang. Manfaat jumlah cicilan kredit tiap masa tertentu dapat diperkecil. Cara yang lain lagi adalah saldo kredit dan bunga yang tertunggak dikonversi menjadi saham biasa atau saham preferen perseroan debitur. Manfaat yang diperoleh dari strategi ini adalah jumlah kewajiban debitur membayar bunga dan cicilan kredit menurun.  Konversi  kredit  dan bunga tertunggak menjadi saham dapat dilakukan secara kesuluruhan atau hanya sebagian saja.

4.      Restrukturisasi perseroan
Restrukturisasi perseroan dilakukan dengan jalan memperkecil skala organisasi perseroan memangkas sumber pemborosan dan dan merasioanalisasi jumlah karyawan yang berlebihan. Apabila menurunnya kinerja bisnis perseroan juga disebabkan karena penggelapan uang, perlu juga dilakukan penggantian personalia manajemen dan karyawan yang terbukti telah merugikan perseroan. Apabila dirasa perlu restrukturisasi juga dapat dilakukan dengan jalan menata kembali atau menciutkan ruang lingkup usaha perseroan. Seperti halnya dengan  bentuk restrukturisasi keuangan yang lain tujuan utama restrukturisasi adalah menurunkan jumlah beban biaya tetap dan meningkatkan efesiensi kegiatan bisnis perseroan. Disamping itu rerorganisasi dijalankan guna menciptakan manajemen perseroan yang lebih proposional dan bersih.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur secara eksplisit dalam Pasal-Pasal pada Bab VII mengenai metode restrukturisasi. Metode metode tersebut antara lain:

1.        Penggabungan (Merger)
Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu PT atau lebih untuk menggabungkan diri dengan PT lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari PT yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada PT yang menerima pengabungan dan selanjutnya status badan hukum PT yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.[14]
Ketika dilakukan penggabungan, tentu akan dilakukan juga perubahan Anggaran Dasar PT. Perubahan Anggaran Dasar PT ini harus mendapat persetujuan kepada Menteri Hukum dan HAM. Perubahan Anggaran Dasar tersebut berlaku sejak tanggal persetujuan Menteri Hukum dan HAM, kemudian yang ditetapkan dalam persetujuan Menteri Hukum dan HAM, atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar diterima Menteri Hukum dan HAM, atau tanggal kemudian yang ditetapkan dalam akta Penggabungan.
Setelah dilakukan penggabungan, direksi PT yang akan menggabungkan diri dan menerima penggabungan menyusun rancangan penggabungan yang memuat sekurang-kurangnya hal-hal sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 123 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Penggabungan PT merupakan sebuah kegiatan yang kompleks. Dari sudut pandang makro, sebuah proses penggabungan akan membawa dampak sosial, psikologis, dan/atau finansial. Dampak yang utama sangat mungkin dirasakan pihak-pihak  yang secara langsung terkait dengan perusahaan seperti karyawan, direksi, pemegang saham, maupun mitra usaha masing-masing PT. Bagi karyawan, penggabungan bisa membawa dampak psikologis, ada ketidakpastian mengenai nasib diri dan keluarganya apakah akan tetap bekerja pada perusahaan yang bersangkutan atau akan diberhentikan. Bagi para pemegang saham, dampak penggabungan atas hartanya (berupa saham yang dimilikinya) bisa berupa nilai saham yang baru. Tentu akan menjadi tidak sederhana dalam menentukan nilai yang baru atas saham-saham dari masig-masing perusahaan. Diperlukan penilaian secara kkmprehensif dan konversi yang tepat agar nilai saham yang baru dapat memberikan keadilan kepada para pemegangnya.

2.        Peleburan (Konsolidasi)
Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua PT atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu PT baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari PT yang meleburkan diri dan status PT yang meleburkan diri berakhir karena hukum.[15] Dengan demikian, pemegang saham PT yang meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham PT hasil peleburan. Ketentuan tentang penggabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 Undang-Undang Perseroan Terbatas berlaku juga bagi PT yang akan meleburkan diri.

3.        Pengambilalihan (Akuisisi)
Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham PT yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas PT tersebut.[16] Pengambilalihan saham tersebut dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh PT melalui direksi PT atau langsung dari pemegang saham.
Dalam hal pengambilalihan dilakukan melalui direksi, pihak yang akan mengambil alih menyampaikan maksudnya untuk mengambil alih PT kepada direksi PT yang akan diambil alih. Direksi PT yang akan diambil alih dan PT yang akan mengambil alih dengan persetujuan dewan komisaris masing-masing menyusun rencana pengambilalihan yang sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagaimana dutetapkan dalam Pasal 125 ayat (6) Undang-Undang Perseroan Terbatas, kecuali pengambilalihan saham dilakukan langsung dari pemegang saham.

4.        Pemisahan
Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh PT untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva PT beralih karena hukum kepada 2 PT atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva PT beralih karena hukum kepada satu PT atau lebih.[17]
Secara yuridis, yang merupakan dasar hukum bagi tindakan pemisahan tersebut adalah sebagai berikut:[18]
1.    Dasar Hukum Utama (Undang-Undang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksananya).
2.     Dasar Hukum Kontraktual.
3.     Dasar Hukum Status Perseroan (Pasar Modal, PMA, BUMN).
4.     Dasar Hukum Konsekuensi Spin Off.
5.     Dasar Hukum Pembidangan Usaha.
Pemisahan hanya mungkin terjadi antara 2(dua) atau lebih badan hukum yang sejenis didalam perseroan terbatas, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Pemisahan lintas batas negara (cresscorder division) antara perseroan terbatas dalam negeri dengan perseroan di Singapura tidak mungkin mengingat hukum yang mengatur tentang perseroan di kedua negara tersebut berlainan.
Selanjutnya perseroan yang berada dalam likuidasi setelah mengalami pembubaran tidak dapat menjadi pihak dalam pemisahan.Demikian pula perseroan  yang telah dinyatakan pailit atau berada dalam penundaan pembayaran utang atau PKPU dan kepailitan atau PKPU dimaksud sedang berlangsung tidak dapat menjadi pihak dalam pemisahan.
Pemisahan dapat dilakukan dengan dua cara: pemisahan murni (zuivere splitsing/absolute division) dan pemisahan tidak murni (afsplitsing=spin off). Pemisahan murni mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva PT beralih demi hukum kepada dua PT atau lebih yang menerima peralihan dan PT melakukan pemisahan tersebut berakhir karena hukum.
Dalam pemisahan jenis ini yang menjadi ciri pokoknya perseroan mengalihkan seluruh harta kekayaannya, sehingga akan berakibat perseroan harus tutup demi hukum karena sudah tidak ada lagi usaha yang diurusi. Adapun yang menjadi pertanyaan, mengapa dalam pemisahan murni perseroan yang menjadi pembeli asset ditentukan minimal dua perseroan hal ini tidak ada penjelasan dari undang-undang, sehingga tidak dapat diketahui apakah kalau hanya satu perseroan yang membeli seluruh aset akan menjadi batal demi hukum perbuatan tersebut atau tidak.
Pada umumnya sebuah perseroan melakukan pemisahan murni karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain:[19]
a)        Usaha kurang menguntungkan
Usaha yang kurang mendatangkan keuntungan menjadi latar belakang perseroan untuk menjual usaha tersebut. Biasanya hal ini dialami oleh perseroan yang mempunyai hanya satu usaha. Sudah diatasi dengan berbagai cara yang dilakukan, tetapi tetap saja tidak dapat menghasilkan keuntungan. Sebuah perseroan tidak mungkin akan mempertahankan usaha yang terus merugi, dan tidak seimbang dengan besarnya pengeluaran biaya operasi. Jika usaha itu permodalannya dibiayai oleh pihak ketiga kemudian menjadi macet pengembaliannya, dapat berakibat akan kepailitan apabila mempunyai utang lebih dari satu kreditur.
b)        Kurang mampu mengelola usaha
Latar belakang lain yang menjadikan perseroan melakukan pemisahan murni adalah karena kurang mampu mengelola usahanya. Perseroan tidak memiliki management yang tidak baik, tidak mempunyai tenaga yang cerdas, cekatan, dan terampil untuk mengurus usaha. Karena usaha tidak diurus secara professional mengakibatkan usaha tidak dapat berjalan dengan lancar dan kurang menghasilkan keuntungan. Dengan usaha yang tidak menguntungkan lebih baik dialihkan daripada dipertahankan karena akan mengakibatkan keuangan perseroan menjadi tidak sehat.
c)        Perseroan sudah hampir berakhir
Jika sebuah perseroan sudah mendekati akhir, keputusan RUPS tidak akan memperpanjang jangka waktu pendirian perseroan sedangkan usaha masih berjalan dengan keuntungan yang biasa-biasa saja. Dengan pertimbangan daripada nantinya perseroan bubar karena jangka waktunya habis dan harus menempuh proses likuidasi, lebih baik perseroan melakukan pemisahan usaha saja. Dengan pemisahan tersebut berakibat perseroan berakhir lebih cepat dari waktunya dan tanpa perlu melakukan likuidasi karena kewajiban terhadap pihak ketiga menjadi tanggung dan perseroan  yang menerima pemisahan usaha.
Bentuk pemisahan yang lain adalah pemisahan tidak murni. Pemisahan tidak murni mengakibatkan hanya sebagian harta PT yang beralih karena hukum kepada satu PT lain atau lebih dan PT yang melakukan pemisahan tersebut tetap berdiri. Perseroan tersebut masih mempunyai harta kekayaan sehingga masih dapat menjalankan usaha. Berbeda dengan pemisahan murni yang berakibat perseroan yang melakukan pemisahan menjadi bubar, karena harta kekayaannya dialihkan seluruhnya.

Pada pemisahan tidak murni penerima pengalihan cukup minimal satu perseroan, sedangkan untuk pemisahaan umum sedikitnya dua perseroan sedangkan untuk pemisahan murni sedikitnya dua perseroan sebagai penerima pengalihan harta kekayaan.[20]

Latar belakang sebuah perseroan melakukan pemisahan tidak murni antara lain karena usaha perseroan kurang menguntungkan atau karena perseroan kurang mampu mengelola usaha. Dengan pertimbangan daripada usaha tersebut ditutup lebih baik dijual kepada perseroan lain. Perlu disebut di sini suatu jenis pemisahan khusus yaitu "pemisahan hibrida”(hybride splitsing) dimana terjadi peralihan karena hukum dari seluruh aktiva dan pasiva perseroan yang melakukan pemisahan kepada satu atau lebih perseroan lain yang didirikan dalam rangka pemisahan oleh perseroan yang melakukan pemisahan.

Setelah pemisahan, perseroan yang melakukan pemisahan tetap ada yang menjadi pemegang saham dari perseroan lain yang didirikannya. Pemisahan ini disebut “pemisahan hibrida” karena sekalipun terjadi peralihan dari seluruh aktiva dan pasiva kepada perseroan lain seperti halnya dengan pemisahan murni yang mengakibatkan berakhirnya perseroan yang melakukan pemisahan murni, dalam yang melakukan pemisahan dimaksud tetap ada dan tidak berakhir.

Dilihat dari bentuk hukumnya dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan baru hasil pemisahan tersebut disebutkan secara tegas bahwa bentuk hukumnya adalah Perseroan Terbatas. Dikaitkan dengan UU Perbankan Syariah, Perseroan baru hasil pemisahan tersebut tidak secara tegas disebutkan bentuk hukumnya, namun hanya disebutkan menjadi dua badan usaha atau lebih. Hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa menurut UU Perbankan Syariah, bentuk hukum dari bank usaha baru hasil pemisahan suatu bank tidak mesti mengikuti atau sama dengan bentuk hukum perseroan asalnya, dan badan usaha baru tersebut tidak mesti merupakan suatu bank. Namun apabila kegiatan usaha badan baru hasil pemisahan tersebut adalah bank syariah, maka sesuai dengan Pasal 7 UU Perbankan Syariah harus berbentuk badan hukum Perseroan terbatas.

Berkenaan dengan pemegang saham atas perseroan baru hasil pemisahan, baik dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas maupun UU Perbankan Syariah di atas tidak disebutkan secara tegas siapa yang menjadi pemegang saham atas perseroan baru tersebut, apakah pemegang saham dari perseroan awal atau perseroan awal itu sendiri. Aspek hukum lainnya yang juga penting dalam pemisahaan ini adalah terkait dengan perlindungan kreditur dan pihak-pihak lain yang memiliki hak-hak istimewa yang bisa saja sebagai alat dari pemisahan perseroan tersebut mengalami kerugian.[21]

Dalam pemisahan perseroan, beberapa pihak yang harus mendapatkan perlindungan hukum antara lain kreditur, karyawan dan para pemegang saham minoritas yang melakukan pemisahan. Pemegang saham dalam hal ini perlu mendapatkan perlindungan mengingat proses pemisahan untuk perseroan bisa terjadi bukan atas kehendak pemegang saham, namun karena adanya ketentuan undang-undang yang mewajibkan pemisahan.[22]

Pemangku kepentingan (stakeholders) seperti para kreditor perseroan yang melakukan pemisahan berhak untuk memperoleh informasi lengkap tentang perseroan yang akan menerima peralihan aktiva dan pasiva sebagai akibat pemisahan. Ini wajar karena perseroan yang menerima peralihan aktiva dan pasiva yang setelah pemisahan selanjutnya harus menanggung pemenuhan perikatan perseroan yang melakukan pemisahan terhadap para kreditor tersebut.

Untuk dapat melakukan pemisahan usaha prosedur yang harus ditempuh di dalamnya perseroan adalah harus ada persetujuan RUPS. Direksi membuat rancangan tentang pemisahan usaha perseroan dengan ditelaah dewan komisaris, baru mengajukan persetujuan kepada RUPS. RUPS untuk menyetujui pemisahan tersebut berlaku Pasal 89 Undang-Undang Perseroan Terbatas, kuorum rapat dihadiri minimal ¾ pemegang saham dengan hak suara dan keputusan diambil dengan persetujuan minimal ¾ suara dari pemegang saham yang hadir. Apabila dalam RUPS ini tidak tercapai kuorumnya maka dapat diadakan RUPS kedua.

Dalam RUPS kuorum yang harus dicapai dengan perbandingan minimal 2/3 :3/4. Kuorum ini tergolong tinggi, karena minimal 2/3 pemegang saham harus hadir dalam RUPS, sedangkan dalam RUPS pertama hanya minimal ¾ pemegang saham yang harus hadir. Jika kuorum tersebut tidak dapat tercapai juga, maka dapat diadakan RUPS ketiga. Untuk RUPS ketiga perseroan yang akan melakukan pemisahan mengajukan permohonan kepada pengadilan agar ditetapkan kuorum untuk kepentingan tersebut. Penetapan pengadilan bersifat final dan berkekuatan hukum tetap, sehingga RUPS menjadi terikat dan melaksanakannya.

Seperti pada penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan berakibat bagi perseroan yang melakukan perbuatan hukum tersebut mempunyai kewajiban untuk melakukan pengumuman minimal pada sebuah surat kabar untuk kepentingan pihak ketiga. Untuk pemisahan juga demikian, perseroan yang melakukan pemisahan baik berupa pemisahan murni atau tidak murni menurut hemat kami tidak terlepas dari kewajiban untuk melakukan pengumuman tersebut demi kepentingan pihak ketiga. Kedua jenis pemisahan sama-sama berakibat bukan saja yang beralih berupa aktiva, tetapi juga pasivanya. Pengumuman merupakan itikad baik dari perseroan terhadap pihak ketiga yang berkepentingan. Oleh karena itu bagi perseroan yang menerima pengalihan mempunyai kewajiban terhadap pihak ketiga. Pihak ketiga perlu mengetahui perseroan mana yang dapat dihubungi untuk menagih kewajiban yang harus dipenuhi.

Simpulan

Restrukturisasi merupakan sebuah kegiatan merubah struktur perusahaan, yang akan membawa perubahan pada struktur modal, operasional, atau pemilikan modal (pemilikan perseroan). Terdapat empat metode dalam melakukan restrukturisasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, yaitu penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan.
Penerapan pemisahan sebagai sebuah metode dalam melakukan restrukturisasi dapat dilakukan dengan dua mekanisme, yakni pemisahan murni dan pemisahan tidak murni. Pemisahan harus dilakukan dengan melindungi kepentingan pihak ketiga, misalnya karyawan, kreditur, dan sebagainya. Dari segi prosedur dan pengambilan keputusan, pemisahan dilakukan dengan melalui persetujuan RUPS.


[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
[2] M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 83.
[3] Johanes, Ibrahim, dan Lindawati Sewu, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung, 2007 hal 51.
[4] Ibid, hal 57.
[5] Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
[6] Raharjo Handri, Hukum Perseroan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hal 134.
[7] Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 42.
[8] Abdul R. Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis, Hukum Bisnis untuk Perusahaan : Teori dan Contoh Kasus, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal 111-112
[9] Johanes, Ibrahim, dan Lindawati Sewu, loc. cit., hal 60.
[10] C.S.T, Kansil dan Christine, Hukum Perseroan Indonesia, Aspek Hukum Dalam Ekonomi,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1995, hal. 93.
[11] Ibid, hal 110.
[12] Ibid, hal 118.
[13] Ibid hal 125
[14] Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Perseroan Terbatas
[15] Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perseroan Terbatas
[16] Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perseroan Terbatas
[17] Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Perseroan Terbatas
[18] Bahari Adib, Prosedur Cepat Mendirikan Perseroan Terbatas, Pustaka Yustisia, Yogyakarta , 2010, hal 24.
[19] Ibid, hal. 66.

[20] Amanat Anisitus, Pembahasan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Penerapan Dalam Akta Notaris, Rajawali Press, Jakarta, 1996, hal 69.
[21] Tumbuan Fred, B. G., Pokok-Pokok Undang-Undang Kepailitan, Penerbit Ghalia, Jakarta, 2008, hal 39.
[22] Ibid, hal 43.

No comments:

Post a Comment