Disusun oleh: Yonathan A. Pahlevi, SH
Komisi
Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di
Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan
memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada periode 2006-2011
KPK dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta Hamzah,
Bibit Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu Plt. KPK
ditolak oleh DPR. Pada 25 November 2010, M. Busyro Muqoddas terpilih menjadi
ketua KPK setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Dilanjutkan lagi oleh Abraham Samad sejak 2011.[1]
Pada tulisan ini akan dibahas mengenai sejarah terbentuknya KPK, ditinjau dari
tiga sudut pandang, yakni sudut pandang historis, yuridis, dan filosofis.
I.
Telaah Historis Lahirnya KPK
1)
Orde Lama
a.
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat
dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat
aturan Undang-Undang
Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur
Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution
dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M.
Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah
semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk
isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat
yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa
dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu
tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan
kekacauan politik, Paran berakhir dengan ketidakjelasan, deadlock, dan
akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet
Djuanda.
b.
Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275
Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution,
yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo
dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Tugas yang diemban
lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap
rawan praktek korupsi dan kolusi.
Sebagaimana terjadi
sebelumnya, alasan politis menyebabkan stagnansi,
seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya
menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang
efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil
menyelamatkan keuangan negara kurang lebih Rp. 11 miliar. Operasi Budhi ini
dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio
kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar)
dengan Presiden Soekarno
menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio
dan Letjen Ahmad
Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini,
pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat,
bahkan macet.
2)
Orde Baru
Pada masa
awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus
1967, Soeharto
secara terus terang mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi
dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan
memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun,
ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan
Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang
dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof. Johannes, I.J. Kasimo,
Mr. Wilopo,
dan A. Tjokroaminoto, dengan
tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV. Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina,
dan lain-lain.
Empat tokoh
bersih ini jadi seolah tidak memiliki kekuatan ketika hasil temuan atas kasus
korupsi di Pertamina,
misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite
ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo
diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib)
dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat
mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down
di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan
korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan
para koruptor di pemerintahan era Orde Baru.
3)
Era Reformasi
Di era
reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie
dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi
Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman.
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk
memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK
akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999.
Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN
sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi
terbaru yang masih eksis.[2]
II.
Telaah
Yuridis Kelahiran KPK
Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa upaya
pembentukan badan pemberantasan korupsi telah dimulai sejak zaman orde lama.
Akan tetapi kemunculan KPK dapat dilihat awal kelahirannya terutama setelah
diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Pada tanggal 5 April 2000, Presiden RI yang waktu itu dijabat
oleh Abdurrahman Wahid mengeluarkan Peraturan Pemerintah Tahun 2000 Tentang Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tim Gabungan tersebut terdiri
dari unsur-unsur Kepolisian Negara, Kejaksaan, instansi terkait, dan unsur
masyarakat. Tim Gabungan mempunyai tugas dan wewenang mengkoordinasikan
penyidikan dan penuntutan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan
tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya.
Tim Gabungan tersebut merupakan embrio
terbentuknya KPK. Tugas dan kewenangan berupa penyidikan dan penuntutan
terhadap perkara korupsi sudah dimiliki oleh Tim Gabungan tersebut, hanya saja
secara kelembagaan masih lemah. Dalam menangani korupsi yang semakin sistematis
dan terstruktur, tentu tidak dapat dilakukan oleh sekedar Tim Gabungan yang
tidak didukung dengan struktur kelembagaan yang kuat. Apalagi koordinasi Tim
Gabungan tersebut masih dilakukan dibawah komando Jaksa Agung, yang diketahui
meskipun memiliki kewenangan penyidikan dan penuntutan ternyata tidak mampu
menunjukkan kinerja yang optimal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pembentukan KPK dimulai dari ketentuan
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang mengamanatkan perlunya dibentuk Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal tersebut tercantum pada
konsiderans Menimbang huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi yang kemudian menjadi dasar penyusunan UU KPK tersebut.
Secara lebih luas, dasar hukum pembentukan
KPK antara lain terdiri dari:
1.
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana;
3.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
4.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Secara singkat, Komisi Pemberantasan
Korupsi lahir berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
III.
Telaah
Filosofis Kelahiran KPK
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.
Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus
yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas
tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki
seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa
bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada
kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang
meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi
tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu
kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat
dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan
secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu
diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu
badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari
kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang
pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta
berkesinambungan.[3]
Pada konsiderans Menimbang huruf a UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disampaikan
bahwa landasan filosofis pertama pembentukan KPK adalah dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak
pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara
optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan
secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah
merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.
Pada konsiderans Menimbang huruf b UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disampaikan
bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum
berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Dua konsiderans tersebut menunjukkan bahwa sebelum terbentuknya KPK,
lembaga penegak hukum yang ada (Kejaksaan dan Kepolisian Negara) dinilai belum
mampu melakukan penanganan perkara korupsi secara efektif dan efisien. Meskipun
gabungan kewenangan dari kedua instansi tersebut sudah sangat memadai untuk
menangani perkara korupsi, namun hal tersebut tidak diikuti dengan pencapaian
kinerja yang optimal dalam pemberantasan korupsi.
Ketidakmampuan Kejaksaan dan Kepolisian Negara tersebut menjadi isu yang
sangat tidak relevan dengan agenda reformasi yang sedang gencar didengungkan,
yakni terutama pemberantasan korupsi. Euforia pembentukan kehidupan bernegara
yang baru, yang bersih dari praktik korupsi, menuntut upaya lebih dalam
menangani perkara korupsi. Dengan latar belakang tersebut dibentuklah lembaga
baru, dengan struktur kelembagaan yang jelas dan kewenangan yang luar biasa,
untuk menangani korupsi yang disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Sama-sama. Saya hanya compile data saja kok. Alhamdulillah jika bermanfaat.
ReplyDeletethankyou :) isinya sangat membantu
ReplyDelete