Resume
oleh: Yonathan A. Pahlevi, SH
Dalam
buku Mendudukkan Undang-Undang Dasar tersebut, penulis ingin menemukan tempat
yang sepatutnya bagi Undang-Undang Dasar. Menilik pada sejarah kelahirannya, Undang-Undang
Dasar merupakan kelanjutan dari Proklamasi. Di antara keduanya terdapat
keterkaitan yang sangat erat, karena Proklamasi membuka jalan bagi kelahiran
bangsa dan negara Indonesia, sementara Undang-Undang Dasar memberikan panduan penting
(arah dan tujuan) bagi bangsa dan negara tersebut.
Konstitusi
bukan sekedar satu carik teks, melainkan mewakili perasaan-perasaan tertentu
yang berhubungan dengan kebangsaan dan kenegaraan. Jika dihadapkan pada
Undang-Undang Dasar 1945, bangsa Indonesia akan merasakan iklim sakral dan
emosional, seperti suasana Proklamasi, perjuangan fisik melepaskan dari
penjajahan Belanda, Sumpah Pemuda 1928, maupun peristiwa bersejarah lainnya. Oleh
karenanya sangat penting untuk menjaga keaslian/ orisinalitas sebuah konstitusi.
Namun seiring dengan dinamika kehidupan berbangsa, menjadi sangat dimungkinkan
adanya perubahan konstitusi. Perubahan tersebut dilakukan sedapat mungkin
dengan tanpa mengurangi orisinalitasnya, karena kehilangan konstitusi yang asli
menimbulkan suasana kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang khidmat menjadi
hilang atau tidak utuh lagi.
Undang-Undang
Dasar bukan sekedar teks biasa, dan bahkan harus dibedakan dengan undang-undang
biasa. Lebih daripada sekedar dokumen hukum tertulis, undang-undang dasar
adalah suatu perjanjian khidmat (solemn
pledge) yang dibuat oleh bangsa Indonesia, sehingga lebih merupakan dokumen
rohani daripada teks hukum. Di dalamnya terkandung norma-norma yang bersifat
luas, umum, dan ideal, yang membedakannya dari undang-undang biasa yang lebih
bersifat konkret. Nilai-nilai moral tersebutlah yang memberikan panduan
pembuatan undang-undang, sehingga Undang-Undang Dasar seharusnya dilihat
sebagai sumber asas umum atau moral.
Hukum,
dalam hal ini Undang-Undang Dasar, sebaiknya juga dipahami sebagai sebuah
dokumen antropologi, yakni bahwa dalam mempermasalahkan hukum sebenarnya adalah
mempermasalahkan manusia. Hukum adalah manusia dan paradigma yang digunakan
adalah “hukum untuk manusia”. Manusia ditempatkan sebagai titik pusat, yang
kemudian dijaga, dijamin, dan dipertahankan sehingga harkat dan martabatnya
tidak tergerus atau aus.
Dalam
membaca Undang-Undang Dasar perlu disertai dengan pendalaman maknanya (moral reading). Moral reading sendiri dicetuskan oleh Ronald Dworkin. Untuk dapat
mendalami makna Undang-Undang Dasar harus memahami bahwa Undang-Undang Dasar
merupakan dokumen moral, yang memuat asas-asas umum (general principle) yang memang kadang memerlukan penafsiran.
Hukum
sesungguhnya abadi, dalam arti kehidupan manusia selalu membutuhkan hukum (ubi societas ibi ius). Namun demikian,
begitu hukum berwujud sebagai teks atau dokumen tertulis, maka ia menjadi tidak
abadi lagi. Begitu pun dengan Undang-Undang Dasar, merupakan hukum yang tidak
abadi. Meskipun demikian, seyogyanya sebuah Undang-Undang Dasar, maupun produk
hukum lainnya, tidak sering diubah karena akan menurunkan kualitasnya sebagai
hukum.
Ketika
hukum dituangkan dalam bentuk tertulis, maka sebenarnya telah terjadi sebuah
perubahan besar, yakni hukum yang semula merupakan ide kemudian didegradasi
benjadi sebuah bentuk (tertulis). Sehingga apa yang sebelumnya dipahami sebagai
ide, nilai, moralitas, kemudian direduksi menjadi kata-kata dan kalimat.
Undang-Undang Dasar sebagai sebuah dokumen moral, di dalamnya termuat asas-asas
umum, sehingga dalam analogi ide dan bentuk, Undang-Undang Dasar merupakan ide.
Hubungan ideal antara konstitusi dan sistem perundang-undangan adalah apabila
perundang-undangan tersebut secara setia menjabarkan konstitusi ke dalam badan
perundang-undangan. Apabila sebaliknya, maka dapat dikatakan bahwa sistem
perundang-undangan telah mereduksi dan mengamputasi konstitusinya sendiri.
Hukum,
pada awalnya, merupakan sesuatu yang utuh, tetapi kemudian kehilangan
keutuhannya ketika dituangkan dalam bentuk teks. Terjadi
pengkotakan-pengkotakan hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, dan
sebagainya. Teks undang-undang itu sebenarnya hanyalah skema dari hukum yang
awalnya utuh.
Dengan
memuat asas-asas umum, Undang Undang Dasar menjadi berbeda dengan
perundang-undangan lainnya. Undang-Undang Dasar menjadi tipe perundang-undangan
yang memberikan perspektif dan panduan terhadap sejumlah besar massa
perundang-udangan yang disebut hukum positif. Keterpaduan Undang-Undang Dasar
dengan perundang-undangan lainnya sangat penting, bahkan sampai pada tingkat
penegakannya. Hakim menjadi penjaga keutuhan dan keterpaduan sistem hukum suatu
bangsa. Di tangan hakimlah kemungkinan ketidakteraturan (disorder) dalam hukum positif diluruskan menjadi sesuatu yang
teratur, sesuai dengan asas-asas yang ditemukannya di balik massa
perundang-undangan.
Agar
dapat dibedakan antara Undang-Undang Dasar dengan perundang-undangan lainnya,
sebaiknya Undang-Undang Dasar menggunakan bahasa asas atau bahasa kaidah. Tidak
perlu mengatur hal yang terlalu konkret.
Semakin konstitusi tampil dengan bahasa asas, maka akan semakin kuat
kemampuannya untuk bertahan menghadapi dinamikan perkembangan dan perubahan
masyarakatnya. Contohnya konstitusi Amerika, merupakan konstitusi yang
sederhana tetapi berhasil bertahan dan mempertahankan mekanisme politik.
Meskipun telah dilakukan beberapa kali amandemen, tetapi amandemen-amandemen
tersebut dilakukan dengan tetap mempertahankan orisinalitas dan menggunakan
bahasa asas.
Strukturisasi
konstitusi dilakukan dengan memberikan otoritas pada badan tertentu yang diberi
kewajiban untuk menentukan isi dari konstitusi. Pengorganisasian fungsi-fungsi
hukum ini dapat menimbulkan efisiensi, tetapi juga memiliki kelemahan karena
idealisme dari kebenaran menjadi terdorong ke belakang. Sebaiknya tidak
menyerahkan pekerjaan untuk mengeksplisitkan dan memunculkan kandungan
undang-undang dasar pada para ahli hukum, karena mengandung resiko bahwa
undang-undang dasar adalah identik dengan hukum atau perundang-undangan biasa.
Padahal seharusnya konstitusi didudukkan sebagai suatu tipe hukum atau
perundang-undangan yang berbeda (distinct),
yang bukan dokumen hukum biasa, melainkan dokumen moral, dokumen antropologi.
Secara
umum, dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menempatkan undang-undang dasar
pada tempat yang semestinya, yakni sebagai satu sumber azas atau sumber kaidah.
Sebagai konsekuensinya, maka diperlukan cara tersendiri untuk membaca dan
memahami makna dari ketentuan di dalamnya, karena azas-azas atau kaidah-kaidah
dalam undang-undang dasar perlu untuk ditafsirkan agar dapat diterapkan dalam
peraturan yang lebih konkret. Lebih jauh, undang-undang dasar berfungsi sebagai
pemberi arah dan bingkai pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih konkret,
sehingga peraturan-perundang-undangan secara keseluruhan menjadi satu kesatuan
yang utuh dan terintegrasi.
No comments:
Post a Comment