Disusun Oleh: Yonathan A. Pahlevi, SH
Paper ini
tentu tidak cukup untuk menguraikan seluruh ilmu dan permasalahan kepabeanan.
Maka “Mengenal Kepabeanan” hanya sebagai sebuah pengenalan bagi mereka yang
belum mendalami kepabeanan dan penyegaran bagi sebagian kecil lainnya yang
telah mendalami atau bahkan berkecimpung di dalamnya.
Pendahuluan
Pengertian
kepabeanan. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
Tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2006 (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepabeanan), Kepabeanan adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk
atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar. Bea masuk
adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang ini yang dikenakan terhadap
barang yang diimpor, sementara bea keluar dikenakan terhadap barang ekspor.
Dalam
sistem kepabeanan Indonesia dianut juga sistem self assesment, sebagaimana
dianut juga dalam sistem perpajakan nasional. Dengan diberlakukannya sistem
tersebut, maka dengan menggunakan pemberitahuan pabean setiap importir atau
eksportir wajib memberitahukan barang impor atau ekspornya dan menghitung
sendiri bea masuk atau bea keluar yang seharusnya dibayar. Pelayanan dan
pengawasan kepabeanan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang
berada di bawah Kementerian Keuangan.
Bea Masuk
Bea masuk
yang seharusnya dibayar adalah jumlah dari perkalian antara nilai pabean dengan
tarif bea masuk. Bea masuk dikenakan terhadap barang impor. Barang impor harus
sudah dibayar bea masuknya pada saat dikeluarkan dari kawasan pabean. Tujuan
pengeluaran barang dari kawasan pabean menurut Undang-Undang Kepabeanan:
1.
diimpor untuk
dipakai;
2.
diimpor
sementara;
3.
ditimbun di
tempat penimbunan berikat;
4.
diangkut ke
tempat penimbunan sementara di kawasan pabean lainnya;
5.
diangkut terus
atau diangkut lanjut; atau
6.
diekspor
kembali.
Penetapan
nilai pabean.
Sebelum
dapat menghitung bea masuk yang seharusnya dibayar, maka perlu dilakukan
terlebih dahulu perhitungan nilai pabeannya. Ada beberapa tingkatan yang secara
hierarkis ditetapkan dalam Undang-Undang Kepabeanan mengenai metode perhitungan
nilai pabean. Untuk mempermudah pemahaman metode penghitungan nilai pabean dapat
dilihat pada bagan 1 dan penjelasan setelahnya.
|
|
Metode
Pertama
|
Metode Kedua
|
Metode Ketiga
|
Metode Keempat
|
Metode Kelima
|
Metode Keenam
Catatan: Enam metode tersebut harus
diterapkan secara berurutan mulai dari yang pertama sampai dengan yang keenam,
kecuali untuk metode komputasi, dapat diminta untuk diterapkan terlebih dahulu
sebelum metode deduksi atas permintaan importir.[1]
Pada
dasarnya nilai pabean untuk perhitungan bea masuk adalah nilai transaksi dan
dari barang yang bersangkutan.[2]
Untuk dapat ditetapkan sebagai nilai pabean, nilai transaksi harus memenuhi
syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam peraturan menteri keuangan.[3]
Nilai transaksi adalah harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya
dibayar oleh pembeli kepada penjual atas barang yang dijual untuk diekspor ke
dalam daerah pabean ditambah dengan biaya-biaya dan/ atau nilai-nilai yang
harus ditambahkan pada nilai transaksi sepanjang biaya-biaya dan/ atau nilai-nilai
tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar atau yang
seharusnya dibayar.[4] Penetapan/
perhitungan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi merupakan metode penetapan
nilai pabean yang pertama dan utama. Dengan diterapkannya sistem self
assessment, maka sangat dituntut kejujuran dari importir atau eksportir dalam
memberitahukan nilai transaksi yang sebenarnya, karena hanya penjual (di luar
negeri) dan pembeli (importir) yang mengetahui berapa nilai transaksi yang
sebenarnya. Oleh karenanya ditetapkan mekanisme pengujian kebenaran nilai
transaksi.
Dalam hal
nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan
nilai transaksi barang yang bersangkutan, nilai pabean untuk penghitungan bea
masuk ditetapkan berdasarkan nilai transaksi dari barang identik.[5]
Dua barang dianggap identik apabila keduanya sama dalam segala hal, paling
tidak karakter fisik, kualitas, dan reputasinya sama, serta diproduksi oleh
produsen yang sama (atau produsen lain) di negara yang sama.[6]
Dalam hal
nilai pabean untuk penghitungan untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksi barang yang bersangkutan dan nilai
transaksi barang identik, nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditetapkan
berdasarkan nilai transaksi dari barang serupa.[7]
Dua barang dianggap serupa apabila keduanya memiliki karakteristik dan komponen
material yang sama sehingga dapat menjalankan fungsi yang sama dan secara
komersial dapat dipertukarkan, serta diproduksi oleh produsen yang sama (atau
produsen lain) di negara yang sama.[8]
Dalam hal
nilai pabean untuk penghitungan untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksibarang yang bersangkutan, nilai transaksi
barang identik, dan nilai transaksi barang serupa, nilai pabean untuk
penghitungan bea masuk ditetapkan berdasarkan metode deduksi (sering juga
disebut metode penghitungan nilai pabean berdasarkan harga pasar).[9]
Dalam hal
nilai pabean untuk penghitungan untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksi barang yang bersangkutan, nilai
transaksi barang identik, nilai transaksi barang serupa, dan metode dduksi,
nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditetapkan berdasarkan metode
komputasi.[10]
Dalam hal
nilai pabean untuk penghitungan untuk penghitungan bea masuk tidak dapat
ditentukan berdasarkan nilai transaksi barang yang bersangkutan, nilai
transaksi barang identik, nilai transaksi barang serupa, metode deduksi, dan
metode komputasi, nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditetapkan
berdasarkan metode pengulangan (fallback).[11]
Penetapan Tarif Bea Masuk
Berdasarkan
Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Kepabeanan, tarif adalah klasifikasi barang dan
pembebanan bea masuk atau bea keluar. Dalam sistem tarif kepabeanan dikenal sistem
klasifikasi untuk menentukan tarif bea masuk. Di Indonesia dikenal Buku Tarif
Kepabeanan Indonesia (BTKI) yang dulu disebut dengan Buku Tarif Bea Masuk
Indonesia (BTBMI). BTKI merupakan sebuah sistem klasifikasi barang ke dalam
pos-pos tarif tertentu untuk kemudian ditentukan pembebanan bea masuknya.
Sebelum dapat ditentukan klasifikasinya perlu dilakukan identifikasi atas barang
impor. Seringkali diperlukan bantuan ahli (ahli biologi, laboratorium, dan
sebagainya) untuk mengidentifikasi jenis dan spesifikasi barang impor.
Tarif bea
masuk pada dasarnya mengacu pada ketentuan tarif yang tercantum dalam dokumen
utama GATT (General Agreement on Tariffs
and Trade). Pada Bagian Pertama (Part
I) dari GATT terdiri atas dua pasal, yakni Pasal I yang menguraikan prinsip
most-favored-nation atau MFN, yaitu
ketentuan bahwa perlakuan yang paling baik yang diperlakukan terhadap satu
mitra dagang harus diterapkan kepada semua anggota GATT. Pasal II merupakan
pasal yang mengatur penurunan bea masuk (tariff
reduction) yang disetujui dalam GATT. Daftar penurunan tarif yang telah
disetujui dimasukkan ke dalam Annexed
Schedule dan daftar ini merupakan bagian integral dari perjanjian GATT.[12]
Permasalahan
dalam perhitungan bea masuk antara lain sulitnya penentuan nilai pabean yang
tepat serta kendala pengklasifikasian barang. Seperti halnya telah disampaikan
sebelumnya, bahwa nilai transaksi barang yang bersangkutan hanya diketahui oleh
penjual dan pembeli, maka sangat sulit bagi pejabat bea dan cukai dalam
mengukur dan membuktikan kebenaran nilai transaksi yang diberitahukan. Dari
enam metode penghitungan nilai pabean, dalam prakteknya, metode deduksi dan
metode komputasi sangat sulit untuk diterapkan karena minimnya sumber data
untuk melakukan penghitungan dengan kedua metode tersebut.
Bea Keluar
Bea
keluar tidak begitu banyak diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan. Dasar
pengenaan bea keluar terhadap barang ekspor terdapat dalam Pasal 2A ayat (1)
Undang-Undang Kepabeanan, yang lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2008 Tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor.
Tata cara penghitungan bea keluar
Tidak
jauh berbeda dengan tata cara penghitungan bea masuk, untuk menghitung bea
keluar juga harus diketahui terlebih dahulu klasifikasi barangnya, karena bea keluar
dikenakan berdasarkan tarif bea keluar.[13]
Tarif bea keluar ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan dapat ditetapkan
berdasarkan persentase dari harga ekspor atau secara spesifik (nominal
tertentu). Demikian juga dengan harga ekspor, ditetapkan oleh Menteri Keuangan
sesuai harga patokan ekspor yang ditetapkan secara periodik oleh menteri dalam
bidang perdagangan setelah berkoordinasi dengan menteri/ kepala lembaga
pemerintah non departemen/ kepala badan teknis terkait.
Dalam
hal tarif bea keluar ditetapkan berdasarkan persentase dari harga ekspor (advalorum),
bea keluar dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
Tarif Bea Keluar x Jumlah Satuan
Barang x Harga Ekspor x Nilai Tukar Mata Uang
Dalam hal tarif
bea keluar ditetapkan secara spesifik, bea keluar dihitung berdasarkan rumus
sebagai berikut:
Tarif Bea Keluar Per Satuan Barang
Dalam Satuan Mata Uang Tertentu x Jumlah Satuan Barang x Nilai Tukar Mata Uang.
Kewenangan Kepabeanan
Kewenangan Umum:
Kewenangan umum yang dimiliki oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai antara lain: Pemeriksaan pabean (pemeriksaan
dokumen dan pemeriksaan fisik barang),[14]
pengawasan pengangkutan,[15]
penetapan tarif dan/ atau nilai pabean oleh pejabat bea dan cukai,[16]
penetapan kembali tarif dan/ atau nilai pabean oleh Direktur Jenderal Bea dan
Cukai,[17]
pemeriksaan pembukuan,[18]
menggunakan kapal patroli atau sarana lainnya,[19]
meminta bantuan TNI, Polri, atau instansi lainnya,[20]
menegah barang dan/ atau sarana pengangkut,[21]
penyegelan,[22] pemeriksaan
bangunan atau tempat lain,[23]
pemeriksaan sarana angkut,[24]
pemeriksaan badan,[25]
dan kewenangan penyidikan.[26]
Kewenangan Khusus Direktur Jenderal
Bea dan Cukai:
Direktur
Jenderal karena jabatan atau atas permohonan dari orang yang bersangkutan dapat:
a. membetulkan surat penetapan tagihan
kekurangan pembayaran bea masuk yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan
tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan
undang-undang ini; atau
b. mengurangi atau
menghapus sanksi administrasi berupa denda dalam hal sanksi tersebut
dikenakan pada orang yang dikenai sanksi karena kekhilafan atau bukan karena
kesalahannya.
Upaya Hukum
Upaya Hukum Biasa:
Undang-Undang
Kepabeanan memberikan peluang upaya hukum bagi orang, diantaranya importir atau
eksportir, yang tidak menerima penetapan pejabat bea dan cukai mengenai tarif
dan/ atau nilai pabean atas barang impor atau ekspornya. Upaya tersebut adalah
pengajuan keberatan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan pengajuan
banding kepada Pengadilan Pajak.
Ketentuan keberatan
terhadap penetapan tarif dan/ atau nilai pabean diatur dalam Pasal 93
Undang-Undang Kepabeanan dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 217/PMK.04/2010 Tentang Keberatan Kepabeanan dan Peraturan
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-01/BC/2011 Tentang Tata Cara pengajuan
dan Penyelesaian Keberatan Di Bidang Kepabeanan.
Sedangkan
untuk keberatan mengenai selain tarif dan/ atau nilai pabean, misalnya penetapan berupa
pencabutan fasilitas atau penetapan sebagai akibat penafsiran peraturan, diatur dalam Pasal 93A Undang-Undang Kepabeanan.
Keberatan
juga dapat diajukan atas pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana
diatur dalam Pasal 94 Undang-Undang Kepabeanan.
Mengenai
banding, hanya ada satu pasal dalam Undang-Undang Kepabeanan yang mengaturnya,
yakni Pasal 95. Banding dilakukan oleh orang yang berkeberatan hanya terhadap:
- penetapan kembali Direktur Jenderal Bea dan Cukai (Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Kepabeanan);
- keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas keberatan atas tarif dan/ atau nilai pabean (Pasal 93 Undang-Undang Kepabeanan);
- keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas keberatan atas selain tarif dan/ atau nilai pabean (Pasal 93A Undang-Undang Kepabeanan); dan
- keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas keberatan atas penetapan sanksi administrasi berupa denda (Pasal 94 Undang-Undang Kepabeanan).
Banding
hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 hari sejak
tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang
dilunasi. Akan tetapi dalam prakteknya tidak sepenuhnya sama dengan ketentuan
Pasal 95 tersebut. Pertama, jangka waktu pengajuan banding 60 hari tidak selalu
dihitung dari tanggal penetapan atau tanggal surat keputusan, tetapi sejak
tanggal surat penetapan atau surat keputusan tersebut disampaikan langsung atau
dikirim kepada yang bersangkutan. Tanggal surat penetapan atau tanggal surat
keputusan diakui hanya jika surat penetapan atau surat keputusan tersebut
diserahkan langsung atau dikirim pada tanggal yang sama dengan tanggal surat. Pembuktian
terkait hal ini yang lazim digunakan dalam Pengadilan Pajak untuk penyerahan
langsung dengan menggunakan tanda terima, sementara untuk pembuktian pengiriman
dengan bukti kirim (stempel pos).[27]
Kedua, pada
prakteknya orang tidak selalu membayar lunas untuk dapat mengajukan banding ke
Pengadilan Pajak. Hanya dengan membayar 50% dari pungutan yang terutang dan
meletakkan jaminan atas 50% yang lain sudah dapat diterima oleh Pengadilan
Pajak, dianggap bahwa salah satu syarat formal pengajuan banding telah
terpenuhi. Hal tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
Upaya Hukum
Luar Biasa:
Dalam hal
orang atau Direktur Jenderal Bea dan Cukai tidak menerima putusan Pengadilan
Pajak, maka masih ada upaya terakhir berupa Peninjauan Kembali. Upaya tersebut
diatur dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
Tentang Pengadilan Pajak.
Alur upaya
hukum secara sederhana dapat dilihat pada Bagan 2.
Bagan 2.
Alur Upaya Hukum
Tindak
Pidana Kepabeanan
Dalam
Undang-Undang Kepabeanan juga telah diatur mengenai tindak pidana kepabeanan
sebagaimana tertuang dalam Pasal 102 sampai dengan Pasal 111. Hal yang menarik
adalah ditentukannya sanksi minimal. Dengan adanya pengaturan mengenai tindak
pidana dan kewenangan penyidikan memungkinkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Penutup
Hal-hal
yang menarik dari Undang-Undang Kepabenanan antara lain:
- Daluwarsa penagihan yang belum disesuaikan dengan UU KUP. Daluwarsa dalam Undang-Undang Kepabeanan diatur dalam Pasal 40 ayat (1), yakni selama 10 tahun.
- Hak mendahulu yang diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Kepabeanan. Hak mendahulu ini berpotensi menimbulkan konflik dengan hak mendahulu yang diatur dalm peraturan perundang-undangan yang lain.
- Diaturnya Hak Atas Kekayaan Intelektual dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Kepabeanan.
- Diakuinya data elektronik sebagai alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 5A ayat (3) Undang-Undang Kepabeanan.
Apa yang
telah diuraikan tentu masih sangat singkat dan sederhana mengingat kompleksitas
permasalahan kepabeanan serta perkembangan prkatis yang sangat cepat. Semoga
pembahasan singkat ini dapat menjadi wacana pembuka terhadap pendalaman hukum
kepabeanan.
[1] Pasal 15
ayat (3a) Undang-Undang Kepabeanan
[2] Pasal 15
ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan
[3] Pasal 2
PMK 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk.
[4] Lihat
penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan. Lihat juga rumusan Pasal
5 PMK 160/PMK.04/2010 Tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk.
[5] Pasal 15
ayat (2) Undang-Undang Kepabeanan
[6] Lihat
Pasal 1 angka 5 PMK 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea
Masuk.
[7] Pasal 15
ayat (3) Undang-Undang Kepabeanan
[8] Lihat
Pasal 1 angka 6 PMK 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea
Masuk.
[9] Pasal 15
ayat (4) Undang-Undang Kepabeanan
[10] Pasal
15 ayat (5) Undang-Undang Kepabeanan
[11] Pasal
15 ayat (6) Undang-Undang Kepabeanan
[12] Barutu,
Christhophorus, Ketentuan Antidumping,
Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2007. hal. 8.
[13] Pasal 3
ayat (1) PP 55 Tahun 2008 Tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor
[14] Pasal 3
ayat (2), Pasal 4, Pasal 82, Pasal 82A, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 90
Undang-Undang Kepabeanan
[15] Pasal
4A Undang-Undang Kepabeanan
[16] Pasal
16 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Kepabeanan
[17] Pasal
17 ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan
[18] Pasal
50 ayat (1), Pasal 86 Undang-Undang Kepabeanan
[19] Pasal
75 ayat (1) Undang-Unang Kepabeanan
[20] Pasal
76 ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan
[21] Pasal
77 ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan
[22] Pasal
78 Undang-Undang Kepabeanan
[23] Pasal
87, Pasal 88 Undang-Undang Kepabeanan
[24] Pasal
90, Pasal 91 Undang-Undang Kepabeanan
[25] Pasal
92 Undang-Undang Kepabeanan
[26]
Pasal 112 dan Pasal 113 Undang-Undang Kepabeanan
[27]
Lihat rumusan Pasal 1 angka 11 dan angka 12 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
Tentang Pengadilan Pajak.
No comments:
Post a Comment