Disusun
Oleh: Yonathan A. Pahlevi, SH
Cornelis van Vollenhoven: mengangkat nilai-nilai hukum adat sebagai
kodifikasi rakyat pribumi.
“Elk volk heeft zijn waarde en beteekenis, en alle
menschelijke gaven en talenten, in al hun verscheidenheid hebben aanspraak op
volle ontplooiing.”[1]
~Cornelis van Vollenhoven~
(Tiap-tiap
bangsa mempunyai harga dan arti sendiri, dan semua karunia dan pepandaian yang
diberikannya mempunyai hak untuk berkembang sepenuhnya.)
Mengenai
definisi hukum adat, C. Van Vollenhoven berpendapat bahwa apabila seorang hakim
menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat
dianggap patut dan mengikat para warga masyarakat serta ada perasaan umum
peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para penjabat hukum, maka
peraturan-peraturan adat tadi bersifat hukum.[2]
Pendapat tersebut dikemukakan dalam kaitannya untuk membedakan antara Adat
dengan Hukum Adat.
Van
Vollenhoven menempatkan hukum adat ke dalam suatu sistematika yang merupakan
suatu ilmu pengetahuan tersendiri. Dari sekian banyak usaha serta
hasil-hasilnya, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari
karya-karyanya. Pertama, van Vollenhoven telah berhasil menghilangkan
kesalahpahaman yang menyatakan bawha hukum adat adalah identik dengan hukum
agama (dalam hal ini hukum Islam). Kecuali daripada itu, van Vollenhoven telah
membela hukum adat terhadap ancaman pembuat undang-undang yang mendesak atau
bahkan berusaha melengyapkan hukum adat. Untuk itu dia telah meyakinkan pembuat
undang-undang, bahwa hukum adat merupakan hukum yang hidup dan memiliki sistem
tersendiri. Selanjutnya, van Vollenhoven telah membagi wilayah hukum adat
Indonesia ke dalam 19 lingkungan hukum adat atau adatrechtskringen. Pembagian tersebut sangat mempermudah untuk
mempelajari hukum adat masing-masing daerah yang masing-masing memiliki ciri
khas, sehingga diperoleh suatu ikhtisar yang sistematis dari hukum adat di
Indonesia.[3]
Dengan
membentangkan secara luas dan mendalam tentang sistem hukum adat, van
Vollenhoven telah meletakkan dasar bagi penelitian lebih lanjut terhadap hukum
adat.
Pada masa
politik etis, dimana pemerintah Hindia-Belanda berusaha untuk melakukan
unifikasi dan kodifikasi hukum, van Vollenhoven berperan dalam kegagalan
merealisasi unifikasi hukum dan kodifikasi hukum perdata untuk golongan rakyat
di Hindia Belanda. Pada tahun 1905, van Vollenhoven menentang kebijakan
tersebut dan mengatakan bahwa hukum yang dicita-citakan Idenburg[4]
adalah hukum yang asing bagi orang-orang pribumi, tepat sama seperti hukum
Romawi pada zaman dahulu dipaksakan ke tengah kehidupan orang-orang Belanda.[5]
Meskipun
demikian, pada akhirnya rancangan undang-undang Idenburg tersebut diterima oleh
parlemen, namun pendapat-pendapat van Vollenhoven kemudian disinyalir menjadi
pemicu lahirnya amandemen Idsinga yang menegaskan kebijakan yang telah
dikompromikan, ialah bahwa hukum rakyat yang tidak tertulis (hukum adat) hanya
boleh digantikan hukum Eropa manakala dalam kehidupan sehari-hari rakyat
pribumi itu memang benar-benar memerlukan hukum itu.[6]
Pada tahun
1919, van Vollenhoven juga dengan keras menentang upaya pemerintah kolonial
yang mencoba membawa golongan rakyat pribumi ke bawah yurisdiksi hukum kolonial
yang diunifikasikan, akan tetapi yang secara sepihak cuma hendak merujuk ke
hukum Eropa (yang dipandang superior) dengan mengabaikan
nomenklatur-nomenklatur hukum adat (yang dianggap inferior).
Perlawanan-perlawanan
itu diberikan dengan dalih Savignian,
bahwa kebutuhan hukum penduduk pribumi sungguh berbeda dengan kebutuhan hukum
orang-orang Eropa dan karena itu penerapan hukum Eropa secara sepihak akan
mengancam ambruknya tatanan pribumi.
Sesungguhnya
van Vollenhoven tidaklah boleh dituduh begitu saja sebagai penolak ide
unifikasi dan kodifikasi, ia hanya keberatan manakala hukum rakyat pribumi yang
berkedudukan mayoritas harus diabaikan untuk membukakan jalan bagi
diberlakukannya hukum Eropa. Ia mencoba memberikan contoh kecil bagaimana
seyogyanya hukum kodifikasi dikembangkan secara khusus untuk orang-orang
pribumi dengan memperhatikan sungguh-sungguh adat, hukum adat, dan kebutuhan
hukum rakyat pribumi.[7]
Hingga saat pecahnya perang Pasifik dan runtuhnya kekuasaan de facto pemerintahan kolonial di
Hindia-Belanda, sekalipun ide unifikasi dan kodifikasi tetap dikukuhi bersama
tetapi realisasinya dalam praktek tidak juga kunjung terwujud.[8]
Perkembangan
yang terjadi sepanjang 4 dasawarsa pertama abad 20 adalah terbukanya pintu
pendidikan ke arah ilmu dan budaya Eropa untuk anak-anak kaum elit pribumi, dan
dengan demikian juga membukakan kesempatan untuk mereka guna memasuki
posisi-posisi yang relatif tinggi dalam organ-organ pemerintahan dan peradilan
di Hindia-Belanda.[9]
Selanjutnya, munculnya kaum terpelajar dari kalangan pribumi, juga khususnya
yang berkeahlian hukum dan ilmu hukum, membuka kesempatan untuk diakuinya hukum
adat bahkan setelah kemerdekaan.
Barend ter Haar Bzn: mengembangkan dan merawat hukum adat melalui
cara-cara common law, hakim sebagai legitimator
hukum adat.
Ter Haar
merupakan salah satu murid van Vollenhoven yang meneruskan penelitiannya
tentang hukum adat. Ia melanjutkan penelitian hukum adat dengan menyoroti
lembaga hukum beserta interrelasinya dan faktor-faktor sosial (di luar hukum)
yang mempengaruhi perkembangan hukum.
Ter Haar
mengungkapkan bahwa Hukum Adat mencakup seluruh peraturan yang menjelma di
dalam keputusan-keputusan pada penjabat hukum, yang mempunyai kewibawaan dan
pengaruh, serta yang di dalam pelaksanaannya secara serta merta dan dipatuhi
dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan
tersebut dapat mengenai suatu persengketaan, akan tetapi juga dapat diambil
berdasarkan kerukunan dan musyawarah.[10]
Namun demikian, ter Haar juga menyatakan bahwa Hukum Adat dapat timbul dari
keputusan para warga masyarakat.[11]
Ter Haar
telah berusaha menempatkan hukum adat sejajar dengan ilmu-ilmu hukum positif
lainnya. Dalam bukunya yang berjudul Beginselen
en Stelsel van het Adatrecht, ter Haar menguraikan secara sistematis
masalah-masalah yang menyangkut masyarakat hukum adat, tanah, perjanjian, hukum
keluarga, hukum perkawinan, hukum waris, dan lain sebagainya.
Sepanjang
dasawarsa 1930-an, sampai pecahnya perang Pasifik tahun 1942, ter Haar berhasil
mempertahankan hukum adat sebagai hukum yang hidup dan terpakai di badan-badan
pengadilan negara (yang diselenggarakan khusus untuk memeriksa perkara-perkara
orang-orang pribumi ialah landraad). Ter Haar berhasil mengukuhkan hukum adat
atas dasar dan/atau atas kekuatan preseden-preseden yang dikembangkan dalam
yurisprudensi landraad.[12]
Pada tahun
1930-an, banyak landraad sudah mulai
diketuai oleh hakim-hakim – banyak diantaranya berasal dari kalangan pribumi –
yang tahu benar bagaimana menghargai hukum adat, dan paham benar begaimana
menemukan asas-asas hukum adat yang hidup di masyarakat untuk seterusnya
diterapkan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat. Lewat cara ini, hukum
adat memperoleh bentuknya yang formal (sebagai hukum pengadilan negara), dan
seterusnya tersistematisasi lewat yurisprudensi. Disadari atau tidak, ter Haar
telah mengembangkan dan merawat hukum adat lewat cara yang dikenal dalam sistem
common law.[13]
Untuk
mendapatkan pengakuan formil dalam undang-undang, ter Haar telah memperjuangkan
pengakuan hak ulayat melalui “Volksraad”, komisi agraria 1928, maupun dalam
advis komisi tahun 1938.[14]
Hukum adat,
sebagaimana hukum rakyat pada umumnya, sebenarnya memiliki kekuatannya dalam
wujud realitanya sebagai pola perilaku (pattern
of actual behavior). Pengkodifikasiannya – dan dengan demikian juga
pengubahannya – menjadi pola untuk mengatur perilaku (pattern of behavior) akan menghilangkan kekuatan dinamiknya.
Sebenarnya ter Haar telah berhasil memodernisasi hukum adat, dan menyiapkannya
untuk keperluan menata kehidupan rakyat di dalam lingkungan masyarakat negara.
Ter Haar memodernisasi hukum adat hanya dalam ihwal forum dan fungsinya, namun
tetap menyerahkan modernisasi (dalam arti pemutakhiran nilai) substansinya pada
pengalaman masyarakat sendiri. Namuan para yuris saat ini tidak bisa memahami
kenyataan bahwa hukum adat (dalam konteks nasional sekalipun) sebenarnya hanya
akan menemukan kelestariannya kalau diperlakukan sebagai common law menurut konsep legal
realism, dan tidak sebagai hukum kodifikasi yang dirawat berdasarkan konsep
analytical jurisprudence.[15]
Intisari
dari pokok pemikiran ter Haar ini dapat kita lihat dari rumusan Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai
berikut:
“Hakim dan
hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Rumusan
tersebut mengakui nilai-nilai hukum adat sebagai nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Melalui kewajiban (atau bisa juga
diartikan sebagai kewenangan) hakim dan hakim konstitusi tersebut, eksistensi
hukum adat dapat dijaga melalui putusan pengadilan. Pencantumannya secara
tertulis dalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum negara Indonesia
yang lebih condong ke arah sistem hukum civil
law.
Namun
demikian, eksistensi hukum adat hanya dapat dijaga melalui praktek-praktek (law in action). Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut hanyalah sebagai tool atau alat, tetapi penerapannya
tergantung dari hakim sebagai pihak yang berwenang untuk menerapkannya. Secara
umum, belum banyak hakim yang menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kebanyakan hakim masih menganut
paradigma positivistik, sehingga putusan-putusannya tidak mencerminkan
nilai-nilai budaya bangsa dan keadilan masyarakat, melainkan mencerminkan
kemauan undang-undang (kehendak penguasa).
[1]
Ucapan Cornelis van Vollenhoven, dikutip dari Mr. Soekanto dan Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat,
Alumni, Bandung, 1981, halaman 101.
[2]
C. van Vollenhoven, Het Adatrecht van
Nederlandsch-Indie, Dell III, halaman 398, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat,
Alumni, Bandung, 1981, halaman 15-16.
[3]
Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok
Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, halaman 55.
[4]
Pada 1904 P.J. Idenburg menjabat Menteri Koloni, ia mengajukan rancangan
undang-undang yang dimaksudkan untuk memungkinkan pengkodifikasian hukum
perdata materiil untuk seluruh golongan penduduk di Indonesia, berdasarkan
Burgelijk Wetboek negara Belanda, dengan beberapa pengecualian (misalnya yang
mengenai beberapa aspek hukum tanah, dan mengenai hukum keluarga dan waris
untuk mereka yang beagama Islam). Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
[5]
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum
Kolonial ke Hukum Nasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995,
halaman 124.
[6]
Ibid, halaman 126.
[7]
Ibid, halaman 127.
[8]Ibid,
halaman 10-11.
[9]
Ibid.
[10]
Ter Haar Bzn, Het Adatrecht van
Nederlandsch-Indie in Wetenschap, Practijk en Onderwijs, 193, dalam Mr.
Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok
Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, halaman 17.
[11]
Ter Haar, De Rechtspraak can landraden
naar ongenschreven Recht, 1930, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung,
1981, halaman 17
[12]
Soetandyo Wignjosoebroto, op cit, halaman 133.
[13]
Ibid, halaman 134.
[14]
Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, loc. Cit. halaman 58.
[15]
Soetandyo Wignjosoebroto, op cit, halaman 135.
No comments:
Post a Comment