Wednesday, November 14, 2012

Mengenal Kepabeanan



Disusun Oleh: Yonathan A. Pahlevi, SH

Paper ini tentu tidak cukup untuk menguraikan seluruh ilmu dan permasalahan kepabeanan. Maka “Mengenal Kepabeanan” hanya sebagai sebuah pengenalan bagi mereka yang belum mendalami kepabeanan dan penyegaran bagi sebagian kecil lainnya yang telah mendalami atau bahkan berkecimpung di dalamnya.

Pendahuluan
Pengertian kepabeanan. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepabeanan), Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar. Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang ini yang dikenakan terhadap barang yang diimpor, sementara bea keluar dikenakan terhadap barang ekspor.
Dalam sistem kepabeanan Indonesia dianut juga sistem self assesment, sebagaimana dianut juga dalam sistem perpajakan nasional. Dengan diberlakukannya sistem tersebut, maka dengan menggunakan pemberitahuan pabean setiap importir atau eksportir wajib memberitahukan barang impor atau ekspornya dan menghitung sendiri bea masuk atau bea keluar yang seharusnya dibayar. Pelayanan dan pengawasan kepabeanan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berada di bawah Kementerian Keuangan.
Bea Masuk
Bea masuk yang seharusnya dibayar adalah jumlah dari perkalian antara nilai pabean dengan tarif bea masuk. Bea masuk dikenakan terhadap barang impor. Barang impor harus sudah dibayar bea masuknya pada saat dikeluarkan dari kawasan pabean. Tujuan pengeluaran barang dari kawasan pabean menurut Undang-Undang Kepabeanan:
1.      diimpor untuk dipakai;
2.      diimpor sementara;
3.      ditimbun di tempat penimbunan berikat;
4.      diangkut ke tempat penimbunan sementara di kawasan pabean lainnya;
5.      diangkut terus atau diangkut  lanjut; atau
6.      diekspor kembali.


Penetapan nilai pabean.
Sebelum dapat menghitung bea masuk yang seharusnya dibayar, maka perlu dilakukan terlebih dahulu perhitungan nilai pabeannya. Ada beberapa tingkatan yang secara hierarkis ditetapkan dalam Undang-Undang Kepabeanan mengenai metode perhitungan nilai pabean. Untuk mempermudah pemahaman metode penghitungan nilai pabean dapat dilihat pada bagan 1 dan penjelasan setelahnya.


















Yonathan, 2012
 
Bagan 1. Hierarki Metode Penghitungan Nilai Pabean


Nilai Pabean berdasarkan Nilai Transaksi Barang yang bersangkutan
 
 
Metode Pertama                   








Nilai Pabean berdasarkan Nilai Transaksi Barang Identik

 
 


Metode Kedua
                                  


Nilai Pabean berdasarkan Nilai Transaksi Barang Serupa

 
 
Metode Ketiga








Nilai Pabean berdasarkan Metode Deduksi

 
 


Metode Keempat








Nilai Pabean berdasarkan Metode Komputasi

 
 


Metode Kelima








Nilai Pabean berdasarkan Metode Pegulangan (fallback)

 
 


Metode Keenam

Catatan: Enam metode tersebut harus diterapkan secara berurutan mulai dari yang pertama sampai dengan yang keenam, kecuali untuk metode komputasi, dapat diminta untuk diterapkan terlebih dahulu sebelum metode deduksi atas permintaan importir.[1]
Pada dasarnya nilai pabean untuk perhitungan bea masuk adalah nilai transaksi dan dari barang yang bersangkutan.[2] Untuk dapat ditetapkan sebagai nilai pabean, nilai transaksi harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam peraturan menteri keuangan.[3] Nilai transaksi adalah harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar oleh pembeli kepada penjual atas barang yang dijual untuk diekspor ke dalam daerah pabean ditambah dengan biaya-biaya dan/ atau nilai-nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi sepanjang biaya-biaya dan/ atau nilai-nilai tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar.[4] Penetapan/ perhitungan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi merupakan metode penetapan nilai pabean yang pertama dan utama. Dengan diterapkannya sistem self assessment, maka sangat dituntut kejujuran dari importir atau eksportir dalam memberitahukan nilai transaksi yang sebenarnya, karena hanya penjual (di luar negeri) dan pembeli (importir) yang mengetahui berapa nilai transaksi yang sebenarnya. Oleh karenanya ditetapkan mekanisme pengujian kebenaran nilai transaksi.
Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi barang yang bersangkutan, nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditetapkan berdasarkan nilai transaksi dari barang identik.[5] Dua barang dianggap identik apabila keduanya sama dalam segala hal, paling tidak karakter fisik, kualitas, dan reputasinya sama, serta diproduksi oleh produsen yang sama (atau produsen lain) di negara yang sama.[6]
Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi barang yang bersangkutan dan nilai transaksi barang identik, nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditetapkan berdasarkan nilai transaksi dari barang serupa.[7] Dua barang dianggap serupa apabila keduanya memiliki karakteristik dan komponen material yang sama sehingga dapat menjalankan fungsi yang sama dan secara komersial dapat dipertukarkan, serta diproduksi oleh produsen yang sama (atau produsen lain) di negara yang sama.[8]
Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksibarang yang bersangkutan, nilai transaksi barang identik, dan nilai transaksi barang serupa, nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditetapkan berdasarkan metode deduksi (sering juga disebut metode penghitungan nilai pabean berdasarkan harga pasar).[9]
Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi barang yang bersangkutan, nilai transaksi barang identik, nilai transaksi barang serupa, dan metode dduksi, nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditetapkan berdasarkan metode komputasi.[10]
Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi barang yang bersangkutan, nilai transaksi barang identik, nilai transaksi barang serupa, metode deduksi, dan metode komputasi, nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditetapkan berdasarkan metode pengulangan (fallback).[11]
Penetapan Tarif Bea Masuk
Berdasarkan Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Kepabeanan, tarif adalah klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk atau bea keluar. Dalam sistem tarif kepabeanan dikenal sistem klasifikasi untuk menentukan tarif bea masuk. Di Indonesia dikenal Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) yang dulu disebut dengan Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI). BTKI merupakan sebuah sistem klasifikasi barang ke dalam pos-pos tarif tertentu untuk kemudian ditentukan pembebanan bea masuknya. Sebelum dapat ditentukan klasifikasinya perlu dilakukan identifikasi atas barang impor. Seringkali diperlukan bantuan ahli (ahli biologi, laboratorium, dan sebagainya) untuk mengidentifikasi jenis dan spesifikasi barang impor.
Tarif bea masuk pada dasarnya mengacu pada ketentuan tarif yang tercantum dalam dokumen utama GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Pada Bagian Pertama (Part I) dari GATT terdiri atas dua pasal, yakni Pasal I yang menguraikan prinsip most-favored-nation atau MFN, yaitu ketentuan bahwa perlakuan yang paling baik yang diperlakukan terhadap satu mitra dagang harus diterapkan kepada semua anggota GATT. Pasal II merupakan pasal yang mengatur penurunan bea masuk (tariff reduction) yang disetujui dalam GATT. Daftar penurunan tarif yang telah disetujui dimasukkan ke dalam Annexed Schedule dan daftar ini merupakan bagian integral dari perjanjian GATT.[12]
Permasalahan dalam perhitungan bea masuk antara lain sulitnya penentuan nilai pabean yang tepat serta kendala pengklasifikasian barang. Seperti halnya telah disampaikan sebelumnya, bahwa nilai transaksi barang yang bersangkutan hanya diketahui oleh penjual dan pembeli, maka sangat sulit bagi pejabat bea dan cukai dalam mengukur dan membuktikan kebenaran nilai transaksi yang diberitahukan. Dari enam metode penghitungan nilai pabean, dalam prakteknya, metode deduksi dan metode komputasi sangat sulit untuk diterapkan karena minimnya sumber data untuk melakukan penghitungan dengan kedua metode tersebut.
Bea Keluar
            Bea keluar tidak begitu banyak diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan. Dasar pengenaan bea keluar terhadap barang ekspor terdapat dalam Pasal 2A ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan, yang lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 Tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor.
Tata cara penghitungan bea keluar
            Tidak jauh berbeda dengan tata cara penghitungan bea masuk, untuk menghitung bea keluar juga harus diketahui terlebih dahulu klasifikasi barangnya, karena bea keluar dikenakan berdasarkan tarif bea keluar.[13] Tarif bea keluar ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan dapat ditetapkan berdasarkan persentase dari harga ekspor atau secara spesifik (nominal tertentu). Demikian juga dengan harga ekspor, ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai harga patokan ekspor yang ditetapkan secara periodik oleh menteri dalam bidang perdagangan setelah berkoordinasi dengan menteri/ kepala lembaga pemerintah non departemen/ kepala badan teknis terkait.
            Dalam hal tarif bea keluar ditetapkan berdasarkan persentase dari harga ekspor (advalorum), bea keluar dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
Tarif Bea Keluar x Jumlah Satuan Barang x Harga Ekspor x Nilai Tukar Mata Uang
Dalam hal tarif bea keluar ditetapkan secara spesifik, bea keluar dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
Tarif Bea Keluar Per Satuan Barang Dalam Satuan Mata Uang Tertentu x Jumlah Satuan Barang x Nilai Tukar Mata Uang.
Kewenangan Kepabeanan
Kewenangan Umum:
Kewenangan umum yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai antara lain: Pemeriksaan pabean (pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan fisik barang),[14] pengawasan pengangkutan,[15] penetapan tarif dan/ atau nilai pabean oleh pejabat bea dan cukai,[16] penetapan kembali tarif dan/ atau nilai pabean oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai,[17] pemeriksaan pembukuan,[18] menggunakan kapal patroli atau sarana lainnya,[19] meminta bantuan TNI, Polri, atau instansi lainnya,[20] menegah barang dan/ atau sarana pengangkut,[21] penyegelan,[22] pemeriksaan bangunan atau tempat lain,[23] pemeriksaan sarana angkut,[24] pemeriksaan badan,[25] dan kewenangan penyidikan.[26]
Kewenangan Khusus Direktur Jenderal Bea dan Cukai:
Direktur Jenderal karena jabatan atau atas permohonan dari orang  yang bersangkutan dapat:
a. membetulkan  surat penetapan tagihan kekurangan pembayaran bea masuk yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan undang-undang ini; atau
b. mengurangi  atau  menghapus sanksi administrasi berupa denda dalam hal sanksi tersebut dikenakan pada orang yang dikenai sanksi karena kekhilafan atau bukan karena kesalahannya.
Upaya Hukum
Upaya Hukum Biasa:
Undang-Undang Kepabeanan memberikan peluang upaya hukum bagi orang, diantaranya importir atau eksportir, yang tidak menerima penetapan pejabat bea dan cukai mengenai tarif dan/ atau nilai pabean atas barang impor atau ekspornya. Upaya tersebut adalah pengajuan keberatan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan pengajuan banding kepada Pengadilan Pajak.
Ketentuan keberatan terhadap penetapan tarif dan/ atau nilai pabean diatur dalam Pasal 93 Undang-Undang Kepabeanan dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.04/2010 Tentang Keberatan Kepabeanan dan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-01/BC/2011 Tentang Tata Cara pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Di Bidang Kepabeanan.
Sedangkan untuk keberatan mengenai selain tarif dan/ atau nilai pabean, misalnya penetapan berupa pencabutan fasilitas atau penetapan sebagai akibat penafsiran peraturan, diatur dalam Pasal 93A Undang-Undang Kepabeanan.
Keberatan juga dapat diajukan atas pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 94 Undang-Undang Kepabeanan.
Mengenai banding, hanya ada satu pasal dalam Undang-Undang Kepabeanan yang mengaturnya, yakni Pasal 95. Banding dilakukan oleh orang yang berkeberatan hanya terhadap:
  1. penetapan kembali Direktur Jenderal Bea dan Cukai (Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Kepabeanan);
  2. keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas keberatan atas tarif dan/ atau nilai pabean (Pasal 93 Undang-Undang Kepabeanan);
  3. keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas keberatan atas selain tarif dan/ atau nilai pabean (Pasal 93A Undang-Undang Kepabeanan); dan
  4. keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas keberatan atas penetapan sanksi administrasi berupa denda (Pasal 94 Undang-Undang Kepabeanan).
Banding hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi. Akan tetapi dalam prakteknya tidak sepenuhnya sama dengan ketentuan Pasal 95 tersebut. Pertama, jangka waktu pengajuan banding 60 hari tidak selalu dihitung dari tanggal penetapan atau tanggal surat keputusan, tetapi sejak tanggal surat penetapan atau surat keputusan tersebut disampaikan langsung atau dikirim kepada yang bersangkutan. Tanggal surat penetapan atau tanggal surat keputusan diakui hanya jika surat penetapan atau surat keputusan tersebut diserahkan langsung atau dikirim pada tanggal yang sama dengan tanggal surat. Pembuktian terkait hal ini yang lazim digunakan dalam Pengadilan Pajak untuk penyerahan langsung dengan menggunakan tanda terima, sementara untuk pembuktian pengiriman dengan bukti kirim (stempel pos).[27]
Kedua, pada prakteknya orang tidak selalu membayar lunas untuk dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Hanya dengan membayar 50% dari pungutan yang terutang dan meletakkan jaminan atas 50% yang lain sudah dapat diterima oleh Pengadilan Pajak, dianggap bahwa salah satu syarat formal pengajuan banding telah terpenuhi. Hal tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
Upaya Hukum Luar Biasa:
Dalam hal orang atau Direktur Jenderal Bea dan Cukai tidak menerima putusan Pengadilan Pajak, maka masih ada upaya terakhir berupa Peninjauan Kembali. Upaya tersebut diatur dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
Alur upaya hukum secara sederhana dapat dilihat pada Bagan 2.


Bagan 2. Alur Upaya Hukum
 


















Tindak Pidana Kepabeanan
            Dalam Undang-Undang Kepabeanan juga telah diatur mengenai tindak pidana kepabeanan sebagaimana tertuang dalam Pasal 102 sampai dengan Pasal 111. Hal yang menarik adalah ditentukannya sanksi minimal. Dengan adanya pengaturan mengenai tindak pidana dan kewenangan penyidikan memungkinkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).


Penutup
Hal-hal yang menarik dari Undang-Undang Kepabenanan antara lain:
  1. Daluwarsa penagihan yang belum disesuaikan dengan UU KUP. Daluwarsa dalam Undang-Undang Kepabeanan diatur dalam Pasal 40 ayat (1), yakni selama 10 tahun.
  2. Hak mendahulu yang diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Kepabeanan. Hak mendahulu ini berpotensi menimbulkan konflik dengan hak mendahulu yang diatur dalm peraturan perundang-undangan yang lain.
  3. Diaturnya Hak Atas Kekayaan Intelektual dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Kepabeanan.
  4. Diakuinya data elektronik sebagai alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 5A ayat (3) Undang-Undang Kepabeanan.
Apa yang telah diuraikan tentu masih sangat singkat dan sederhana mengingat kompleksitas permasalahan kepabeanan serta perkembangan prkatis yang sangat cepat. Semoga pembahasan singkat ini dapat menjadi wacana pembuka terhadap pendalaman hukum kepabeanan.



[1] Pasal 15 ayat (3a) Undang-Undang Kepabeanan
[2] Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan
[3] Pasal 2 PMK 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk.
[4] Lihat penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan. Lihat juga rumusan Pasal 5 PMK 160/PMK.04/2010 Tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk.
[5] Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Kepabeanan
[6] Lihat Pasal 1 angka 5 PMK 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk.
[7] Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Kepabeanan
[8] Lihat Pasal 1 angka 6 PMK 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk.
[9] Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang Kepabeanan
[10] Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Kepabeanan
[11] Pasal 15 ayat (6) Undang-Undang Kepabeanan
[12] Barutu, Christhophorus, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007. hal. 8.
[13] Pasal 3 ayat (1) PP 55 Tahun 2008 Tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor
[14] Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 82, Pasal 82A, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 90 Undang-Undang Kepabeanan
[15] Pasal 4A Undang-Undang Kepabeanan
[16] Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Kepabeanan
[17] Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan
[18] Pasal 50 ayat (1), Pasal 86 Undang-Undang Kepabeanan
[19] Pasal 75 ayat (1) Undang-Unang Kepabeanan
[20] Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan
[21] Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan
[22] Pasal 78 Undang-Undang Kepabeanan
[23] Pasal 87, Pasal 88 Undang-Undang Kepabeanan
[24] Pasal 90, Pasal 91 Undang-Undang Kepabeanan
[25] Pasal 92 Undang-Undang Kepabeanan
[26] Pasal 112 dan Pasal 113 Undang-Undang Kepabeanan
[27] Lihat rumusan Pasal 1 angka 11 dan angka 12 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.

No comments:

Post a Comment