Wednesday, November 14, 2012

Mendudukkan Undang Undang Dasar (Satjipto Rahardjo, 2007)


Resume oleh: Yonathan A. Pahlevi, SH

            Dalam buku Mendudukkan Undang-Undang Dasar tersebut, penulis ingin menemukan tempat yang sepatutnya bagi Undang-Undang Dasar. Menilik pada sejarah kelahirannya, Undang-Undang Dasar merupakan kelanjutan dari Proklamasi. Di antara keduanya terdapat keterkaitan yang sangat erat, karena Proklamasi membuka jalan bagi kelahiran bangsa dan negara Indonesia, sementara Undang-Undang Dasar memberikan panduan penting (arah dan tujuan) bagi bangsa dan negara tersebut.

            Konstitusi bukan sekedar satu carik teks, melainkan mewakili perasaan-perasaan tertentu yang berhubungan dengan kebangsaan dan kenegaraan. Jika dihadapkan pada Undang-Undang Dasar 1945, bangsa Indonesia akan merasakan iklim sakral dan emosional, seperti suasana Proklamasi, perjuangan fisik melepaskan dari penjajahan Belanda, Sumpah Pemuda 1928, maupun peristiwa bersejarah lainnya. Oleh karenanya sangat penting untuk menjaga keaslian/ orisinalitas sebuah konstitusi. Namun seiring dengan dinamika kehidupan berbangsa, menjadi sangat dimungkinkan adanya perubahan konstitusi. Perubahan tersebut dilakukan sedapat mungkin dengan tanpa mengurangi orisinalitasnya, karena kehilangan konstitusi yang asli menimbulkan suasana kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang khidmat menjadi hilang atau tidak utuh lagi.
Undang-Undang Dasar bukan sekedar teks biasa, dan bahkan harus dibedakan dengan undang-undang biasa. Lebih daripada sekedar dokumen hukum tertulis, undang-undang dasar adalah suatu perjanjian khidmat (solemn pledge) yang dibuat oleh bangsa Indonesia, sehingga lebih merupakan dokumen rohani daripada teks hukum. Di dalamnya terkandung norma-norma yang bersifat luas, umum, dan ideal, yang membedakannya dari undang-undang biasa yang lebih bersifat konkret. Nilai-nilai moral tersebutlah yang memberikan panduan pembuatan undang-undang, sehingga Undang-Undang Dasar seharusnya dilihat sebagai sumber asas umum atau moral.
            Hukum, dalam hal ini Undang-Undang Dasar, sebaiknya juga dipahami sebagai sebuah dokumen antropologi, yakni bahwa dalam mempermasalahkan hukum sebenarnya adalah mempermasalahkan manusia. Hukum adalah manusia dan paradigma yang digunakan adalah “hukum untuk manusia”. Manusia ditempatkan sebagai titik pusat, yang kemudian dijaga, dijamin, dan dipertahankan sehingga harkat dan martabatnya tidak tergerus atau aus.
            Dalam membaca Undang-Undang Dasar perlu disertai dengan pendalaman maknanya (moral reading). Moral reading sendiri dicetuskan oleh Ronald Dworkin. Untuk dapat mendalami makna Undang-Undang Dasar harus memahami bahwa Undang-Undang Dasar merupakan dokumen moral, yang memuat asas-asas umum (general principle) yang memang kadang memerlukan penafsiran.
            Hukum sesungguhnya abadi, dalam arti kehidupan manusia selalu membutuhkan hukum (ubi societas ibi ius). Namun demikian, begitu hukum berwujud sebagai teks atau dokumen tertulis, maka ia menjadi tidak abadi lagi. Begitu pun dengan Undang-Undang Dasar, merupakan hukum yang tidak abadi. Meskipun demikian, seyogyanya sebuah Undang-Undang Dasar, maupun produk hukum lainnya, tidak sering diubah karena akan menurunkan kualitasnya sebagai hukum.
            Ketika hukum dituangkan dalam bentuk tertulis, maka sebenarnya telah terjadi sebuah perubahan besar, yakni hukum yang semula merupakan ide kemudian didegradasi benjadi sebuah bentuk (tertulis). Sehingga apa yang sebelumnya dipahami sebagai ide, nilai, moralitas, kemudian direduksi menjadi kata-kata dan kalimat. Undang-Undang Dasar sebagai sebuah dokumen moral, di dalamnya termuat asas-asas umum, sehingga dalam analogi ide dan bentuk, Undang-Undang Dasar merupakan ide. Hubungan ideal antara konstitusi dan sistem perundang-undangan adalah apabila perundang-undangan tersebut secara setia menjabarkan konstitusi ke dalam badan perundang-undangan. Apabila sebaliknya, maka dapat dikatakan bahwa sistem perundang-undangan telah mereduksi dan mengamputasi konstitusinya sendiri.
            Hukum, pada awalnya, merupakan sesuatu yang utuh, tetapi kemudian kehilangan keutuhannya ketika dituangkan dalam bentuk teks. Terjadi pengkotakan-pengkotakan hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, dan sebagainya. Teks undang-undang itu sebenarnya hanyalah skema dari hukum yang awalnya utuh.
            Dengan memuat asas-asas umum, Undang Undang Dasar menjadi berbeda dengan perundang-undangan lainnya. Undang-Undang Dasar menjadi tipe perundang-undangan yang memberikan perspektif dan panduan terhadap sejumlah besar massa perundang-udangan yang disebut hukum positif. Keterpaduan Undang-Undang Dasar dengan perundang-undangan lainnya sangat penting, bahkan sampai pada tingkat penegakannya. Hakim menjadi penjaga keutuhan dan keterpaduan sistem hukum suatu bangsa. Di tangan hakimlah kemungkinan ketidakteraturan (disorder) dalam hukum positif diluruskan menjadi sesuatu yang teratur, sesuai dengan asas-asas yang ditemukannya di balik massa perundang-undangan.
            Agar dapat dibedakan antara Undang-Undang Dasar dengan perundang-undangan lainnya, sebaiknya Undang-Undang Dasar menggunakan bahasa asas atau bahasa kaidah. Tidak perlu mengatur hal yang terlalu konkret.  Semakin konstitusi tampil dengan bahasa asas, maka akan semakin kuat kemampuannya untuk bertahan menghadapi dinamikan perkembangan dan perubahan masyarakatnya. Contohnya konstitusi Amerika, merupakan konstitusi yang sederhana tetapi berhasil bertahan dan mempertahankan mekanisme politik. Meskipun telah dilakukan beberapa kali amandemen, tetapi amandemen-amandemen tersebut dilakukan dengan tetap mempertahankan orisinalitas dan menggunakan bahasa asas.
            Strukturisasi konstitusi dilakukan dengan memberikan otoritas pada badan tertentu yang diberi kewajiban untuk menentukan isi dari konstitusi. Pengorganisasian fungsi-fungsi hukum ini dapat menimbulkan efisiensi, tetapi juga memiliki kelemahan karena idealisme dari kebenaran menjadi terdorong ke belakang. Sebaiknya tidak menyerahkan pekerjaan untuk mengeksplisitkan dan memunculkan kandungan undang-undang dasar pada para ahli hukum, karena mengandung resiko bahwa undang-undang dasar adalah identik dengan hukum atau perundang-undangan biasa. Padahal seharusnya konstitusi didudukkan sebagai suatu tipe hukum atau perundang-undangan yang berbeda (distinct), yang bukan dokumen hukum biasa, melainkan dokumen moral, dokumen antropologi.
            Secara umum, dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menempatkan undang-undang dasar pada tempat yang semestinya, yakni sebagai satu sumber azas atau sumber kaidah. Sebagai konsekuensinya, maka diperlukan cara tersendiri untuk membaca dan memahami makna dari ketentuan di dalamnya, karena azas-azas atau kaidah-kaidah dalam undang-undang dasar perlu untuk ditafsirkan agar dapat diterapkan dalam peraturan yang lebih konkret. Lebih jauh, undang-undang dasar berfungsi sebagai pemberi arah dan bingkai pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih konkret, sehingga peraturan-perundang-undangan secara keseluruhan menjadi satu kesatuan yang utuh dan terintegrasi.

No comments:

Post a Comment