Disusun Oleh
Yonathan A. Pahlevi
Pendahuluan
Perseroan
Terbatas (PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksananya.[1]
Seperti yang diketahui, mendirikan suatu
perusahaan atau perseroan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam mendirikan
suatu perusahaan atau perseroan
dibutuhkan uang dan waktu dalam menciptakan bisnis yang sungguh-sungguh ada
(secara khusus dengan membentuk badan usaha atau kemitraan) dalam mendapatkan
perdanaan awal, untuk membeli atau menyewa aset yang diperlukan, untuk
memadukan aset fisik secara bersamaan ke dalam perseroan yang produktif, untuk
merekrut dan melatih tenaga kerja, untuk membangun hubungan dengan konsumen dan
supplier, lalu yang lebih umum lagi adalah untuk membangun kemauan dan
pengenalan nama.[2]
Tidak semua usaha perseroan berhasil
seperti yang diharapkan, meskipun banyak juga perseroan yang berhasil.
Perseroan yang kurang atau tidak berhasil ditandai oleh penurunan kinerja
bisnis mereka dari tahun ke tahun. Walaupun tidak semua perseroan yang menurun
kinerja bisnisnya berakhir dengan kebangkrutan, namun apabila tidak diadakan
tindakan korektif yang tepat tidak jarang mereka terpaksa menutup usahanya.
Kecuali disebabkan oleh faktor-faktor
eksternal yang akut seperti bencana alam atau krisis ekonomi, krisis kinerja
bisnis perseroan tidak pernah terjadi mendadak. Krisis kinerja bisnis yang
ditandai oleh menurunnya likuiditas keuangan, solvabilitas dan profitabilitas
merupakan satu proses. Hal ini berkembang sedikit demi sedikit dari tahun ke
tahun, dan akan menjadi semakin parah bilamana tidak cepat ditangani secara
professional.[3]
Penurunan
kinerja bisnis, termasuk penurunan kondisi keuangan timbul karena berbagai
macam faktor intern dan ekstern perseroan. Beberapa di antara faktor-faktor
penyebab tersebut adalah:[4]
1.
Menurunnya jumlah penjualan dari tahun ke tahun;
2.
Jumlah piutang dagang meningkat secara tidak proporsional
dibandingkan dengan peningkatan jumlah penjualan;
3.
Menumpuknya jumlah persediaan bahan baku, barang setengah
jadi, dan barang jadi;
4.
Struktur pendanaan operasi bisnis yang kurang sehat,
jumlah utang terlalu besar dibandingkan dengan jumlah modal sendiri
(meningkatnya debts to equity ratio);
5.
Meningkatnya jumlah biaya operasional;
6.
Manajemen atau karyawan menyalahgunakan harta perseroan
untuk memenuhi kebutuhan pribadi;
7.
Krisis ekonomi nasional, regional, maupun internasional;
8.
Kehidupan politik nasional dan/atau internasional yang
tidak stabil;
9.
Bencana alam.
Faktor pertama sampai dengan faktor
keenam merupakan faktor internal, sedangkan faktor ketujuh sampai faktor
kesembilan merupakan faktor eksternal. Salah satu cara yang dapat digunakan
perusahaan untuk mengatasi menurunnya kondisi keuangan perusahaan karena
faktor-faktor tersebut adalah dengan melakukan restrukturisasi.
Rumusan Masalah
Paper ini akan membahas restrukturisasi
PT terkait dengan pengertian, tujuan, maupun metode-metodenya. Akan tetapi
pembahasan akan lebih difokuskan pada pemisahan sebagai salah satu metode
restrukturisasi untuk mendalami beberapa hal, antara lain:
1. Apakah yang dimaksud dengan
restrukturisasi?
2. Bagaimana penerapan pemisahan sebagai
metode dalam melakukan restrukturisasi?
Restrukturisasi
Yang dimaksud dengan “reorganisasi dan/atau
restrukturisasi”, antara lain Penggabungan,
Peleburan, Pengambilalihan,
kompensasi piutang, atau Pemisahan.[5]
Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, pasal-pasal mengenai restrukturisasi PT
sebagian besar terdapat dalam BAB VIII yang dimulai dari Pasal 122 sampai
dengan Pasal 137.
Restrukturisasi dilakukan dengan
wajib memperhatikan kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan
PT, kreditor dan mitra usaha lainnya dari PT, masyarakat dan persaingan sehat
dalam melakukan usaha. Direksi PT yang melakukan restrukturisasi wajib
mengumumkan ringkasan rancangan restrukturisasi paling sedikit dalam satu surat
kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan PT yang akan melakukan
restrukturisasi dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan
RUPS. Dalam jangka waktu paling lambat 14 hari setelah pengumuman tersebut,
kreditor dapat mengajukan keberatan kepada PT yang melakukan restrukturisasi,
lebih dari 14 hari dianggap menyetujui. Selama penyelesaian keberatan kreditor
tersebut belum tercapai, maka restrukturisasi tidak dapat dilaksanakan.
Rancangan restrukturisasi yang telah
disetujui RUPS dituangkan ke dalam akta penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, atau pemisahan yang dibuat dihadapan notaris dalam bahasa
Indonesia. Akta pengambilalihan saham yang dilakukan langsung dari pemegang
saham wajib dinyatakan dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Akta
peleburan menjadi dasar pembuatan akta pendirian PT hasil peleburan.
Terdapat
beberapa alasan bagi suatu perseroan untuk melakukan restrukturisasi, antara
lain:[6]
1.
Persaingan.
Dalam lingkungan bisnis yang persaingannya begitu sengit, penguasaan banyak
bidang usaha merupakan suatu kemewahan yang makin lama makin mahal. Para
manajer dewasa ini mau tidak mau harus terus berpacu dengan para saingan.
Semakin sukses seseorang akan makin banyak melihat kelemahannya sendiri.
Praktis semua aspek bisnis apakah itu harga atau kualitas produk, tingkat
inovasi, kualitas pelayanan, dan sebagainya merupakan subjek persaingan yang
tiada henti.
2.
Fleksibiltas.
Perseroan sekarang ini senantiasa dihadapkan pada dua pilihan: tanggapan
atau kandas. Kecepatan pemberian reaksi semakin menentukan kelangsungan hidup
dan keberhasilan perseroan. Rentetan kemajuan teknologi di bidang informasi,
produksi dan sistem distribusi, serta meningkatkan tuntutan konsumen akan
keragaman telah menimbulkan pergeseran dalam pola kegiatan bisnis. Sebagai
akibatnya, perseroan yang melakukan diversifikasi dihadapkan pada masa penuh
tekanan. Sulit untuk menggapai semuanya sekaligus.
3.
Biaya awal yang begitu tinggi.
Begitu banyak sumber daya yang habis sebagai biaya-biaya Perseroan yang
sebenarnya kurang perlu. Pos-pos biaya ini bukan hanya kurang perlu, tapi
terkadang bahkan bersifat merusak. Dalam rangka mencari-cari pembenaran atas
dikeluarkannya pos-pos biaya tersebut, maka perseroan sering melanggar
program-program akuisisi yang tidak memberi nilai tambah sama sekali untuk para
pemegang saham. Apa yang ada dalam akuisisi semacam itu hanya sesuatu yang
menarik, dramatis, dan glamor. Sebagai contoh, dalam laporan dari suatu
perseroan yang telah melakukan diversifikasi terdapat sebuah pos yang disebut
“biaya-biaya perseroan" (corporate expense) yang hampir berjumlah
$200 juta. Bandingkan jumlah ini dengan pendapatan bersih yang hanya mengalami
peningkatan sekitar 15% per tahun dalam periode yang sama. Bila biaya-biaya
Perseroan ini dihitung dengan angka setelah dipotong pajak dan rasio
harga/pendapatan Perseroan diterapkan pada total biaya, akan didapat biaya
keseluruhan yang mencapai $1,4 miliar. Kalaupun sebagaian biaya itu memang
perlu dikeluarkan, jelas ada banyak pemborosan.
Restrukturisasi tidak selalu dilakukan
dalam hal perusahaan mengalami masalah finansial atau dalam kondisi kritis.
Karena pada dasarnya restrukturisasi dilakukan untuk mendapatkan pasar, baik
pasar dalam arti konsumen atas barang hasil produksi maupun pasar dalam arti
sumber-sumber bahan modal. Restrukturisasi dilakukan untuk menghadapi tantangan
bisnis yang semakin berkembang baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.
Melalui restrukturisasi perusahaan, pengusaha atau
pelaku bisnis dapat melakukan ekspansi usaha, memperbesar aset dan skala usaha,
menguasai pasar dan bahan baku, serta merestrukturisasi perusahaan yang sedang
bermasalah. Dalam hal demikian restrukturisasi lebih merupakan sebuah langkah
pengembangan perusahaan daripada sebuah langkah penyelamatan.
Dalam pengadaan restrukturisasi terhadap
perseroan harus terdapat adanya prinsip
keterbukaan. Pelaksanaan prinsip keterbukaan ini sangat penting untuk dilakukan
karenaberguna meningkatkan kepercayaan investor atau publik khususnya terhadap
pasar modal, kemudian dengan adanyaprinsip keterbukaan dapat berfungsi juga
untuk menciptakan mekanisme pasar yang efisien. Filosofi ini di dasarkan pada
konstruksi pemberian informasi secara penuh sehingga menciptakan pasar modal yang
efisien yaitu harga saham sepenuhnya merupakan refleksi dari seluruh informasi
yang tersedia.[7]
Tujuan restrukturisasi
Biasanya merger,
konsolidasi, dan akuisisi ditempuh oleh perusahaan-perusahaan besar untuk
meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan karena cara-cara tersebut dapat
dilakukan untuk tujuan-tujuan, antara lain:[8]
- Membeli product line atau lines untuk melengkapi product lines dari perusahaan yang akan mengambil alih atau menghilangkan ketergantungan perusahaan tersebut pada product lines atau service lines yang ada pada saat ini;
- Untuk memperoleh akses pada teknologi baru atau teknologi yang lebih baik yang dimiliki oleh perusahaan yang menjadi objek merger, konsolidasi, atau akuisisi;
- Memperoleh pasar atau pelanggan-pelanggan baru yang tidak dimilikinya tetapi dimiliki oleh perusahaan yang menjadi objek merger, konsolidasi, atau akuisisi;
- Memperoleh hak-hak pemasaran dan hak-hak produksi yang belum dimilikinya namun dimiliki oleh perusahaan yang menjadi objek merger, konsolidasi, atau akuisisi;
- Memperoleh kepastian atas pemasokan bahan-bahan baku yang kualitasnya baik yang selama ini dipasok oleh perusahaan yang menjadi objek merger, konsolidasi, atau akuisisi;
- Melakukan investasi atas keuangan perusahaan yang berlebih dan tidak terpakai (idle);
- Mengurangi atau menghambat persaingan;
- Mempertahankan kontinuitas bisnis.
Menurut
ketentuan Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), tujuan restrukturisasi adalah untuk kepentingan:
- Meningkatkan kinerja dan nilai perseroan.
- Memberikan manfaat berupa deviden dan pajak kepada Negara.
- Menghasilkan produk dan layanan dengan karya yang kompetitif kepada konsumen.
- Memudahkan privatisasi.
Jenis dan Metode Restrukturisasi
Dalam banyak kasus krisis
keuangan yang dihadapi perseroan milik negara dan perseroan swasta dapat
diatasi dengan jalan melakukan
restrukturisasi. Strategi restrukturisasi yang
diterapkan masing-masing perseroan tidak sama, sebab strategi restrukturisasi itu dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan strategi restrukturisasi adalah:[9]
1) Tingkat krisis yang dihadapi perseroan.
2) Penyebab utama krisis tersebut.
3) Pengorbanan yang harus diberikan pemilik
perseroan.
4)
Manfaat yang diperkiraan dapat diperoleh.
Untuk kasus-kasus tertentu
kadang-kadang diperlukan kombinasi strategi restrukturisasi. Restrukturisasi
melibatkan para pemilik perseroan secara langsung. Dalam menjalankan tugas
tersebut mereka dapat dibantu dewan komisaris dan manajemen perseroan. Adapun bentuk
restrukturisasi yang banyak dipergunakan untuk mengatasi krisis keuangan
perseroan adalah sebagai berikut:[10]
1.
Restrukturisasi harta perseroan (reorganization of
assets)
Salah satu cara
untuk memperbaiki likuiditas keuangan perseroan adalah menata kembali harta
yang dimiliki perseroan. Hal itu dilakukan dengan jalan megurangi jenis atau
jumlah harta tetap, termasuk sarana produksi yang kurang berguna atau tidak
efisien lagi. Harta tetap seperti itu dapat jual kepada pihak ketiga. Dengan menjual
harta tetap yang kurang berguna atau tidak efisien bagi perseroan akan mendapat
injeksi dana segar. Dana tersebut dapat dipergunakan untuk mendanai kebutuhan
modal kerja dan melunasi utang-utang yang berbunga tinggi. Dengan demikian
kegiatan bisnis perseroan dapat diperlancar, sedangkan biaya bunga pinjaman
dapat berkurang. Disamping itu beban biaya penyusutan juga akan berkurang.
Manfaat yang diperoleh dengan strategi ini adalah likuiditas keuangan dan
profitabilitas perseroan dapat diperbaiki.
Restrukturisasi
harta perseroan juga dapat dilakukan dengan jalan memperbaiki manajemen
persediaan, antara lain dengan meminimalisir jumlah persedian bahan baku, bahan
pembantu dan barang jadi. Manfaat yang diperoleh adalah jumlah kas/bank yang
terikat dalam persediaan dapat diminimalisir. Jalan lain mereorganisir harta
perseroan adalah memangkas atau menghapuskan harta perseroan yang bernuansa
pemborosan dan menjadi sumber pemborosan biaya. Contoh harta perseroan yang
berbau pemborosan adalah gedung kantor yang terlalu luas dan mewah,
laboratorium riset dan pengembangan yang terlalu canggih, villa megah untuk
tempat peristirahatan pemimpin perseroan, kendaraan dinas yang terlalu banyak
jumlahnya, terlalu mewah dan terlalu mahal pajak dan biaya pemeliharaannya.
Jumlah piutang
dagang wajib diminimalisir. Hal itu dapat dilakukan dengan jalan memperbaiki
manajemen piutang dagang. Pemberian kredit penjualan kepada distributor
dilakukan secara selektif. Kegiatan penagihan piutang dagang dilakukan secara
lebih intensif.
2.
Divestasi
Divestasi adalah cara memperbaiki likuiditas
keuangan perseroan dengan jalan menjual sebagian hak kepemilikan perseroan
kepada pihak ketiga. Dengan menjual sebagian hak kepemilikan perseroan dapat
diperoleh dana segar untuk memperbaiki likuidasi perseroan, James C Van Horn
mengatakan bahwa divestasi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara
lain dengan:[11]
a)
Menjual bagian tertentu perseroan (partial sell-offs)
Dalam partial
sell-offs pemilik perseroan menjual bagian tertentu perseroannya kepada
perseroan lain. Dengan menjual bagian tertentu perseroannya mereka dapat
memperoleh dana segar untuk dipergunakan menambah dana modal kerja atau
melunasi utang berbunga. Sebaiknya bagian yang dijual itu adalah bagian yang
telah lama memberi beban keuangan yang terlalu berat, misalnya membebani biaya
operasional yang terlalu besar sehingga profitabilitas perseroan secara
keseluruhan terganggu. Partial-sell offs hanya dapat menarik minat
pembeli bilamana mereka yakin bagian perseroan yang akan dijual dapat
memperkuat organisasi bisnis perseroannya.
b)
Menjual anak perseroan (corporate spin-offs)
Corporate
spin-offs dilakukan oleh grup perseroan yang sedang mengalami kesulitan keuangan.
Dalam corporate spin-offs perseroan menjual sebagian saham anak
perseroan mereka kepada pihak ketiga. Corporate spin-offs juga dapat
dilakukan dengan jalan memisahkan bagian tertentu perseroan menjadi sebuah
perseroan lain yang independen. Selanjutnya saham perseroan baru tersebut
dibagikan secara prorate kepada para pemegang saham perseroan lama.
Dengan strategi ini bagian perseroan yang dipisahkan wajib mengurusi sendiri
kebutuhan keuangan mereka.
Sedangkan Fred
Weston mengambil contoh IBM sebagian perseroan yang telah melakukan divestasi corporate
spin-offs agar dapat mengelola keuangan perseroan mereka secara lebih
efisien. Pada tahun 1986 IBM telah menjual product centers dan bagian penjualan eceran mereka di
Amerika Serikat. Selanjutnya pada tahun 1988 IBM menjual bisnis pengkopian (copier
business) mereka kepada Eastmant Kodak.[12] Dalam corporate
spin-offs anak perseroan yang dijual atau bagian perseroan yang dipisahkan
akan dikelola manajemen baru. Dengan demikian belum tentu perseroan lama dapat
mengharapkan sinergi kerjasama dengan perseroan baru ini.
c) Menjual saham biasa yang dimiliki oleh para pemegang
saham kepada publik (equit carve-outs)
Equity
carve-outs hampir sama dengan corporate spin-offs. Bedanya
dalam equity carve-outs saham anak perseroan tidak ditawarkan kepada
perusahaan lain secara individual, melainkan ditawarkan kepada publik melalui
busa efek. Equity carve-outs juga disebut split-off intial public
offering (IPOs). Apabila perseroan induk masih ingin menguasai anak
perseroan yang mereka jual, saham yang ditawarkan kepada publik hendaknya tidak
mencapai 50% dari seluruh saham biasa.
Dengan demikian
perseroan induk masih dapat mengawasi kinerja manajemen perseroan yang dijual
sebagian itu. Apabila perseroan berhasil menjual sebagian saham anak
perseroannya, mereka akan dapat mengumpulkan dana segar tanpa bunga. Seperti
halnya partial sell-offs dan corporate spin-offs dana segar
tersebut dapat dipergunakan untuk menambahkan dana modal kerja dan membayar
kembali pinjaman berbunga. Disamping untuk mengatasi kesulitan keuangan,
kadang-kadang equit carve outs dipergunakan untuk mendapatkan dana murah
guna perluasan perseroan yang sehat usahanya.
3.
Restrukturisasi keuangan
Restrukturisasi
keuangan merupakan upaya menyelamatkan
perseroan yang dilakukan bersama-sama oleh perseroan dan bank kreditur mereka.
Dalam kasus ini karena menghadapi kesulitan keuangan, perseroan tidak mampu
membayar bunga dan/atau cicilan kredit yang telah mereka terima. Untuk
mencengah kredit berkembang menjadi kredit macet dan tidak terbayar sama
sekali, kadang-kadang bank bersedia membantu nasabah mereka
merestrukturisasikan keuangannya.
Ciri khusus upaya
menyehatkan kondisi keuangan ini adalah dibutuhkan jangka waktu lama. Bank
Kreditur hanya bersedia membantu melakukan restrukturisasi kredit bilamana mereka melihat masa depan
perseroan debitur masih dapat diperbaiki. Oleh karena itu sebelum memutuskan
hal itu mereka akan mempelajari secara mendalam perkembangan kegiatan usaha
perseroan debitur dan masalah yang mereka hadapi.[13]
Tujuan utama
restrukturisasi keuangan adalah meringankan beban keuangan, dalam hal ini bunga
pinjaman dan pembayaran cicilan kredit. Salah satu bentuk
restrukturisasikeuangan dengan bantuan bank dilakukan dengan jalan menghapuskan
saldo bunga tertunggak. Cara lain adalah dengan penjadwalan kembali pembayaran
cicilan kredit. Dengan cara yang kedua ini jangka waktu kredit dan pembayaran
cicilan diperpanjang. Manfaat jumlah cicilan kredit tiap masa tertentu dapat
diperkecil. Cara yang lain lagi adalah saldo kredit dan bunga yang tertunggak
dikonversi menjadi saham biasa atau saham preferen perseroan debitur. Manfaat
yang diperoleh dari strategi ini adalah jumlah kewajiban debitur membayar bunga
dan cicilan kredit menurun.
Konversi kredit dan bunga tertunggak menjadi saham dapat
dilakukan secara kesuluruhan atau hanya sebagian saja.
4.
Restrukturisasi perseroan
Restrukturisasi perseroan
dilakukan dengan jalan memperkecil skala organisasi perseroan memangkas sumber
pemborosan dan dan merasioanalisasi jumlah karyawan yang berlebihan. Apabila
menurunnya kinerja bisnis perseroan juga disebabkan karena penggelapan uang, perlu juga
dilakukan penggantian personalia manajemen dan karyawan yang terbukti telah
merugikan perseroan. Apabila dirasa perlu restrukturisasi juga dapat dilakukan
dengan jalan menata kembali atau menciutkan ruang lingkup usaha perseroan.
Seperti halnya dengan bentuk
restrukturisasi keuangan yang lain tujuan utama restrukturisasi adalah
menurunkan jumlah beban biaya tetap dan meningkatkan efesiensi kegiatan bisnis
perseroan. Disamping itu rerorganisasi dijalankan guna menciptakan manajemen
perseroan yang lebih proposional dan bersih.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas mengatur secara eksplisit dalam Pasal-Pasal pada Bab
VII mengenai metode restrukturisasi. Metode metode tersebut antara lain:
1.
Penggabungan (Merger)
Penggabungan adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu PT atau lebih untuk menggabungkan diri
dengan PT lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari PT yang
menggabungkan diri beralih karena hukum kepada PT yang menerima pengabungan dan
selanjutnya status badan hukum PT yang menggabungkan diri berakhir karena
hukum.[14]
Ketika dilakukan
penggabungan, tentu akan dilakukan juga perubahan Anggaran Dasar PT. Perubahan
Anggaran Dasar PT ini harus mendapat persetujuan kepada Menteri Hukum dan HAM.
Perubahan Anggaran Dasar tersebut berlaku sejak tanggal persetujuan Menteri
Hukum dan HAM, kemudian yang ditetapkan dalam persetujuan Menteri Hukum dan
HAM, atau pemberitahuan perubahan anggaran dasar diterima Menteri Hukum dan HAM,
atau tanggal kemudian yang ditetapkan dalam akta Penggabungan.
Setelah dilakukan
penggabungan, direksi PT yang akan menggabungkan diri dan menerima penggabungan
menyusun rancangan penggabungan yang memuat sekurang-kurangnya hal-hal
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 123 ayat (2) Undang-Undang Perseroan
Terbatas.
Penggabungan PT
merupakan sebuah kegiatan yang kompleks. Dari sudut pandang makro, sebuah
proses penggabungan akan membawa dampak sosial, psikologis, dan/atau finansial.
Dampak yang utama sangat mungkin dirasakan pihak-pihak yang secara langsung terkait dengan
perusahaan seperti karyawan, direksi, pemegang saham, maupun mitra usaha
masing-masing PT. Bagi karyawan, penggabungan bisa membawa dampak psikologis,
ada ketidakpastian mengenai nasib diri dan keluarganya apakah akan tetap
bekerja pada perusahaan yang bersangkutan atau akan diberhentikan. Bagi para
pemegang saham, dampak penggabungan atas hartanya (berupa saham yang
dimilikinya) bisa berupa nilai saham yang baru. Tentu akan menjadi tidak sederhana
dalam menentukan nilai yang baru atas saham-saham dari masig-masing perusahaan.
Diperlukan penilaian secara kkmprehensif dan konversi yang tepat agar nilai
saham yang baru dapat memberikan keadilan kepada para pemegangnya.
2.
Peleburan (Konsolidasi)
Peleburan adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh dua PT atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan
satu PT baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari PT yang
meleburkan diri dan status PT yang meleburkan diri berakhir karena hukum.[15]
Dengan demikian, pemegang saham PT yang meleburkan diri karena hukum menjadi
pemegang saham PT hasil peleburan. Ketentuan tentang penggabungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 123 Undang-Undang Perseroan Terbatas berlaku juga bagi PT
yang akan meleburkan diri.
3.
Pengambilalihan (Akuisisi)
Pengambilalihan adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk
mengambil alih saham PT yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas PT
tersebut.[16]
Pengambilalihan saham tersebut dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang
telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh PT melalui direksi PT atau
langsung dari pemegang saham.
Dalam hal pengambilalihan
dilakukan melalui direksi, pihak yang akan mengambil alih menyampaikan maksudnya
untuk mengambil alih PT kepada direksi PT yang akan diambil alih. Direksi PT
yang akan diambil alih dan PT yang akan mengambil alih dengan persetujuan dewan
komisaris masing-masing menyusun rencana pengambilalihan yang
sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagaimana dutetapkan dalam Pasal 125 ayat
(6) Undang-Undang Perseroan Terbatas, kecuali pengambilalihan saham dilakukan
langsung dari pemegang saham.
4.
Pemisahan
Pemisahan adalah perbuatan
hukum yang dilakukan oleh PT untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh
aktiva dan pasiva PT beralih karena hukum kepada 2 PT atau lebih atau sebagian
aktiva dan pasiva PT beralih karena hukum kepada satu PT atau lebih.[17]
Secara yuridis, yang merupakan dasar hukum bagi tindakan pemisahan tersebut adalah sebagai
berikut:[18]
1. Dasar Hukum Utama (Undang-Undang Perseroan Terbatas dan
peraturan pelaksananya).
2.
Dasar Hukum Kontraktual.
3.
Dasar Hukum Status Perseroan (Pasar
Modal, PMA, BUMN).
4.
Dasar Hukum Konsekuensi Spin Off.
5. Dasar Hukum Pembidangan Usaha.
Pemisahan hanya
mungkin terjadi antara 2(dua) atau lebih badan hukum yang sejenis didalam
perseroan terbatas, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Pemisahan lintas batas negara (cresscorder division) antara perseroan
terbatas dalam negeri dengan perseroan di Singapura tidak mungkin mengingat
hukum yang mengatur tentang perseroan di kedua negara tersebut berlainan.
Selanjutnya
perseroan yang berada dalam likuidasi setelah mengalami pembubaran tidak dapat
menjadi pihak dalam pemisahan.Demikian pula perseroan yang telah dinyatakan pailit atau berada
dalam penundaan pembayaran utang atau PKPU dan kepailitan atau PKPU dimaksud
sedang berlangsung tidak dapat menjadi pihak dalam pemisahan.
Pemisahan dapat dilakukan
dengan dua cara: pemisahan murni (zuivere splitsing/absolute division) dan pemisahan tidak murni (afsplitsing=spin
off).
Pemisahan murni mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva PT beralih demi hukum
kepada dua PT atau lebih yang menerima peralihan dan PT melakukan pemisahan
tersebut berakhir karena hukum.
Dalam pemisahan jenis ini
yang menjadi ciri pokoknya perseroan mengalihkan seluruh harta kekayaannya,
sehingga akan berakibat perseroan harus tutup demi hukum karena sudah tidak ada
lagi usaha yang diurusi. Adapun yang menjadi pertanyaan, mengapa dalam
pemisahan murni perseroan yang menjadi pembeli asset ditentukan minimal dua
perseroan hal ini tidak ada penjelasan dari undang-undang, sehingga tidak dapat
diketahui apakah kalau hanya satu perseroan yang membeli seluruh aset akan
menjadi batal demi hukum perbuatan tersebut atau tidak.
Pada umumnya sebuah
perseroan melakukan pemisahan murni karena dilatarbelakangi oleh beberapa
faktor antara lain:[19]
a)
Usaha kurang menguntungkan
Usaha yang
kurang mendatangkan keuntungan menjadi latar belakang perseroan untuk menjual
usaha tersebut. Biasanya hal ini dialami oleh perseroan yang mempunyai hanya
satu usaha. Sudah diatasi dengan berbagai cara yang dilakukan, tetapi tetap
saja tidak dapat menghasilkan keuntungan. Sebuah perseroan tidak mungkin akan
mempertahankan usaha yang terus merugi, dan tidak seimbang dengan besarnya
pengeluaran biaya operasi. Jika usaha itu permodalannya dibiayai oleh pihak
ketiga kemudian menjadi macet pengembaliannya, dapat berakibat akan kepailitan
apabila mempunyai utang lebih dari satu kreditur.
b)
Kurang mampu mengelola usaha
Latar belakang
lain yang menjadikan perseroan melakukan pemisahan murni adalah karena kurang
mampu mengelola usahanya. Perseroan tidak memiliki management yang tidak baik,
tidak mempunyai tenaga yang cerdas, cekatan, dan terampil untuk mengurus usaha.
Karena usaha tidak diurus secara professional mengakibatkan usaha tidak dapat
berjalan dengan lancar dan kurang menghasilkan keuntungan. Dengan usaha yang
tidak menguntungkan lebih baik dialihkan daripada dipertahankan karena akan
mengakibatkan keuangan perseroan menjadi tidak sehat.
c)
Perseroan sudah hampir berakhir
Jika sebuah
perseroan sudah mendekati akhir, keputusan RUPS tidak akan memperpanjang jangka
waktu pendirian perseroan sedangkan usaha masih berjalan dengan keuntungan yang
biasa-biasa saja. Dengan pertimbangan daripada nantinya perseroan bubar karena
jangka waktunya habis dan harus menempuh proses likuidasi, lebih baik perseroan
melakukan pemisahan usaha saja. Dengan pemisahan tersebut berakibat perseroan
berakhir lebih cepat dari waktunya dan tanpa perlu melakukan likuidasi karena
kewajiban terhadap pihak ketiga menjadi tanggung dan perseroan yang menerima pemisahan usaha.
Bentuk pemisahan
yang lain adalah pemisahan tidak murni. Pemisahan tidak murni mengakibatkan
hanya sebagian harta PT yang beralih karena hukum kepada satu PT lain atau
lebih dan PT yang melakukan pemisahan tersebut tetap berdiri. Perseroan
tersebut masih mempunyai harta kekayaan sehingga masih dapat menjalankan usaha.
Berbeda dengan pemisahan murni yang berakibat perseroan yang melakukan
pemisahan menjadi bubar, karena harta kekayaannya dialihkan seluruhnya.
Pada pemisahan
tidak murni penerima pengalihan cukup minimal satu perseroan, sedangkan untuk
pemisahaan umum sedikitnya dua perseroan sedangkan untuk pemisahan murni
sedikitnya dua perseroan sebagai penerima pengalihan harta kekayaan.[20]
Latar belakang
sebuah perseroan melakukan pemisahan tidak murni antara lain karena usaha
perseroan kurang menguntungkan atau karena perseroan kurang mampu mengelola
usaha. Dengan pertimbangan daripada usaha tersebut ditutup lebih baik dijual
kepada perseroan lain. Perlu disebut di sini suatu jenis pemisahan khusus yaitu
"pemisahan hibrida”(hybride splitsing) dimana terjadi peralihan karena
hukum dari seluruh aktiva dan pasiva perseroan yang melakukan pemisahan kepada
satu atau lebih perseroan lain yang didirikan dalam rangka pemisahan oleh
perseroan yang melakukan pemisahan.
Setelah
pemisahan, perseroan yang melakukan pemisahan tetap ada yang menjadi pemegang
saham dari perseroan lain yang didirikannya. Pemisahan ini disebut “pemisahan
hibrida” karena sekalipun terjadi peralihan dari seluruh aktiva dan pasiva
kepada perseroan lain seperti halnya dengan pemisahan murni yang mengakibatkan
berakhirnya perseroan yang melakukan pemisahan murni, dalam yang melakukan
pemisahan dimaksud tetap ada dan tidak berakhir.
Dilihat dari bentuk
hukumnya dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan baru hasil pemisahan
tersebut disebutkan secara tegas bahwa bentuk hukumnya adalah Perseroan
Terbatas. Dikaitkan dengan UU Perbankan Syariah, Perseroan baru hasil pemisahan tersebut tidak
secara tegas disebutkan bentuk hukumnya, namun hanya disebutkan menjadi dua
badan usaha atau lebih. Hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa menurut UU
Perbankan Syariah, bentuk hukum dari bank usaha baru hasil pemisahan suatu bank
tidak mesti mengikuti atau sama dengan bentuk hukum perseroan asalnya, dan
badan usaha baru tersebut tidak mesti merupakan suatu bank. Namun apabila kegiatan
usaha badan baru hasil pemisahan tersebut adalah bank syariah, maka sesuai
dengan Pasal 7
UU Perbankan Syariah harus berbentuk badan hukum Perseroan terbatas.
Berkenaan dengan pemegang
saham atas perseroan baru hasil pemisahan, baik dalam Undang-Undang
Perseroan Terbatas maupun UU Perbankan Syariah di atas tidak disebutkan secara tegas siapa
yang menjadi pemegang saham atas perseroan baru tersebut, apakah pemegang saham
dari perseroan awal atau perseroan awal itu sendiri. Aspek hukum lainnya yang
juga penting dalam pemisahaan ini adalah terkait dengan perlindungan kreditur dan
pihak-pihak lain yang memiliki hak-hak istimewa yang bisa saja sebagai alat
dari pemisahan perseroan tersebut mengalami kerugian.[21]
Dalam pemisahan perseroan, beberapa pihak yang harus
mendapatkan perlindungan hukum antara lain kreditur, karyawan dan para pemegang
saham minoritas yang melakukan pemisahan. Pemegang saham dalam hal ini perlu
mendapatkan perlindungan mengingat proses pemisahan untuk perseroan bisa terjadi bukan
atas kehendak pemegang saham, namun karena adanya ketentuan undang-undang yang
mewajibkan pemisahan.[22]
Pemangku
kepentingan (stakeholders) seperti para kreditor perseroan yang
melakukan pemisahan berhak untuk memperoleh informasi lengkap tentang perseroan
yang akan menerima peralihan aktiva dan pasiva sebagai akibat pemisahan. Ini
wajar karena perseroan yang menerima peralihan aktiva dan pasiva yang setelah
pemisahan selanjutnya harus menanggung pemenuhan perikatan perseroan yang
melakukan pemisahan terhadap para kreditor tersebut.
Untuk dapat
melakukan pemisahan usaha prosedur yang harus ditempuh di dalamnya perseroan
adalah harus ada persetujuan RUPS. Direksi membuat rancangan tentang pemisahan
usaha perseroan dengan ditelaah dewan komisaris, baru mengajukan persetujuan
kepada RUPS. RUPS untuk menyetujui pemisahan tersebut berlaku Pasal 89
Undang-Undang Perseroan Terbatas, kuorum rapat dihadiri minimal ¾ pemegang
saham dengan hak suara dan keputusan diambil dengan persetujuan minimal ¾ suara
dari pemegang saham yang hadir. Apabila dalam RUPS ini tidak tercapai kuorumnya
maka dapat diadakan RUPS kedua.
Dalam RUPS
kuorum yang harus dicapai dengan perbandingan minimal 2/3 :3/4. Kuorum ini
tergolong tinggi, karena minimal 2/3 pemegang saham harus hadir dalam RUPS, sedangkan
dalam RUPS pertama hanya minimal ¾ pemegang saham yang harus hadir. Jika kuorum
tersebut tidak dapat tercapai juga, maka dapat diadakan RUPS ketiga. Untuk RUPS
ketiga perseroan yang akan melakukan pemisahan mengajukan permohonan kepada
pengadilan agar ditetapkan kuorum untuk kepentingan tersebut. Penetapan
pengadilan bersifat final dan berkekuatan hukum tetap, sehingga RUPS menjadi
terikat dan melaksanakannya.
Seperti pada
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan berakibat bagi perseroan yang melakukan
perbuatan hukum tersebut mempunyai kewajiban untuk melakukan pengumuman minimal
pada sebuah surat kabar untuk kepentingan pihak ketiga. Untuk pemisahan juga
demikian, perseroan yang melakukan pemisahan baik berupa pemisahan murni atau
tidak murni menurut hemat kami tidak terlepas dari kewajiban untuk melakukan
pengumuman tersebut demi kepentingan pihak ketiga. Kedua jenis pemisahan
sama-sama berakibat bukan saja yang beralih berupa aktiva, tetapi juga
pasivanya. Pengumuman merupakan itikad baik dari perseroan terhadap pihak
ketiga yang berkepentingan. Oleh karena itu bagi perseroan yang menerima
pengalihan mempunyai kewajiban terhadap pihak ketiga. Pihak ketiga perlu
mengetahui perseroan mana yang dapat dihubungi untuk menagih kewajiban yang
harus dipenuhi.
Simpulan
Restrukturisasi merupakan sebuah
kegiatan merubah struktur perusahaan, yang akan membawa perubahan pada struktur
modal, operasional, atau pemilikan modal (pemilikan perseroan). Terdapat empat
metode dalam melakukan restrukturisasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Perseroan Terbatas, yaitu penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan
pemisahan.
Penerapan pemisahan sebagai sebuah
metode dalam melakukan restrukturisasi dapat dilakukan dengan dua mekanisme,
yakni pemisahan murni dan pemisahan tidak murni. Pemisahan harus dilakukan
dengan melindungi kepentingan pihak ketiga, misalnya karyawan, kreditur, dan
sebagainya. Dari segi prosedur dan pengambilan keputusan, pemisahan dilakukan
dengan melalui persetujuan RUPS.
[1]
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
[2] M. Yahya Harahap, Beberapa
Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal
83.
[3] Johanes, Ibrahim, dan
Lindawati Sewu, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern, Refika
Aditama, Bandung, 2007 hal 51.
[4] Ibid, hal 57.
[5]
Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas
[6] Raharjo Handri, Hukum
Perseroan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hal 134.
[7] Munir Fuady, Hukum
Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal
42.
[8]
Abdul R. Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis, Hukum
Bisnis untuk Perusahaan : Teori dan Contoh Kasus, Prenada Media, Jakarta,
2005, hal 111-112
[9] Johanes, Ibrahim, dan
Lindawati Sewu, loc. cit., hal 60.
[10] C.S.T, Kansil dan
Christine, Hukum Perseroan Indonesia, Aspek Hukum Dalam Ekonomi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1995, hal. 93.
[11] Ibid, hal 110.
[12] Ibid, hal 118.
[13] Ibid hal 125
[14]
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Perseroan Terbatas
[15]
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perseroan Terbatas
[16]
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perseroan Terbatas
[17]
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Perseroan Terbatas
[18] Bahari Adib, Prosedur
Cepat Mendirikan Perseroan Terbatas, Pustaka Yustisia, Yogyakarta , 2010,
hal 24.
[19] Ibid, hal. 66.
[20] Amanat Anisitus, Pembahasan
Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Penerapan Dalam Akta Notaris, Rajawali
Press, Jakarta, 1996, hal 69.
[21] Tumbuan Fred, B. G., Pokok-Pokok
Undang-Undang Kepailitan, Penerbit Ghalia, Jakarta, 2008, hal 39.
[22] Ibid, hal 43.
No comments:
Post a Comment