Monday, April 8, 2013

Model Kebijakan dalam Pasal 9 ayat (1) UU Sumber Daya Air


Oleh: Yonathan A. Pahlevi (11010112410004)

Undang-undang merupakan produk politik, karenanya undang-undang akan merefleksikan kepentingan pembuatnya, dalam hal ini penguasa. Sebagai sebuah produk politik, maka dalam undang-undang pun terkandung kebijakan politik. Hukum merupakan frame dari kebijakan, kebijakan yang didukung dengan hukum, atau diwujudkan dalam bentuk hukum, akan menjadi kebijakan yang legitimate dan memiliki daya paksa.
Mengingat fungsi hukum sebagai tool of social control dan tool of social engineering, maka perwujudan kebijakan publik dalam bentuk hukum harus terus dicermati agar kebijakan yang diterbitkan memberikan perlindungan bagi masyarakat dan mewujudkan kesejahteraan umum.

Terdapat beberapa model kebijakan publik, diantaranya adalah model Elit-Massa, model Institusional, model Inkremental, dan model Rasional-Komprehensif. Satu kebijakan mungkin akan mencakup beberapa model, namun tentu akan dapat dicermati model mana yang paling dominan.
Dalam paper singkat ini akan dikaji mengenai rumusan Pasal 9 ayat (1) UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Redaksi Pasal 9 ayat (1) tersebut adalah sebagai berikut:
"Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya."
Pengaturan mengenai hak guna usaha air ini masih sangat terbatas. UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tidak mengatur secara rinci mengenai hal ini dan mengamanatkan pengaturan lebih lanjut pada tingkat peraturan pemerintah. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 10 UU Sumber Daya Air. Sampai saat ini pemerintah baru membuat RPP tentang Hak Guna Air, yang di dalamnya akan diatur juga mengenai hak guna usaha air. Air merupakan salah satu unsur utama kehidupan, oleh karenanya penting dicermati model kebijakan mengenai hak guna usaha air untuk menganalisa sikap pemerintah terhadap sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak ini.

Analisa:
1. Penguasaan atas air dan sumber daya air seharusnya menjadi bagian dari kebijakan yang bermodel konstitusional, mengingat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 telah dengan tegas menempatkan penguasaan atas air berada pada negara. Hak atas air bersih merupakan bagian dari hak untuk hidup, mengingat manusia memiliki komposisi tubuh 80% terdiri dari air dan tidak dapat hidup tanpa air. Tepat jika kemudian dirumuskan dikuasai negara karena negara harus menjamin kelangsungan hidup warga negaranya.
2.  Bahwa konsep hak guna usaha air tersebut lebih mengedepankan nilai ekonomi air. Pengusahaan air boleh dilakukan oleh pemerintah maupun swasta yang telah memiliki izin. Perusahaan pemegang hak guna usaha air tentu akan mengedepankan profit sebagai motif utama usahanya. Keberadaan profit sebagai motif utama tentu bertentangan dengan hak masyarakat atas akses pada air untuk kebutuhan sehari-hari yang bermotif air untuk semua atau kekeluargaan.
3.   Air seharusnya merupakan bagian dari barang tambang karena fakta bahwa tidak ada perusahaan yang bisa memproduksi air. Berdasarkan sifatnya yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka seharusnya penguasaan dan pengelolaan sumber daya air dilakukan oleh pemerintah, seperti halnya penguasaan dan pengelolaan tentang listrik. Model kebijakan yang tepat adlah model rasional-komprehensif. Analisa yang mendalam dan holistik perlu dilakukan mengingat kerentanan sumber daya air, yang jika menggunakan paradigma ekonomi (profit oriented) akan mengancam kelestarian sumber daya air.
4.  Bahwa izin atas hak guna usaha air tersebut diberikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Arah kebijakan yang top-down menunjukkan bahwa kebijakan pemberian izin hak guna usaha air bersifat elitis. Pemerintah selaku penguasa sumber daya air menentukan pemberian izin dan tanpa keterlibatan pertimbangan masyarakat di dalamnya. Mengingat izin tersebut merupakan keputusan dari institusi, maka pemberian izin hak guna usaha air tersebut juga bersifat institusional.
5.    Kebijakan penerbitan hak guna usaha air ini sebenarnya tidak sejalan dengan konsep penguasaan air oleh negara. Hak guna usaha air menjadi bagian dari kebijakan yang bersifat elit-massa berdasarkan beberapa hal berikut:
a) Tidak adanya kontribusi masyarakat untuk memberikan pertimbangan dalam mekanisme pemberian izin. Kearifan lokal masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya air seharusnya dijadikan salah satu pertimbangan utama dalam pemberian izin hak guna usaha air, mengingat biasanya masyarakat setempat telah hidup selaras dengan alam sekitarnya selama bertahun-tahun.
b)    Peraturan yang mengatur hak guna usaha air kurang jelas dan tegas, terutama dalam hal kewajiban pemegang izin untuk mengembalikan keadaan sumber daya air yang rusak oleh kegiatan usahanya.
c)   Dalam penerbitan izin hak guna usaha air, pemberi izin hanya mempertimbangkan ketersediaan air dan alokasinya, namun tidak diatur mengenai potensi kerusakan sumber daya air dan penurunan daya dukungnya bagi kelangsungan masyarakat yang mengakses air bagi kebutuhan sehari-hari. Seharusnya pemberi izin memiliki analisa yang bersifat prediktif dan preventif.
Lemahnya peran masyarakat dalam melakukan kontrol atas pelaksanaan hak guna usaha air. Pemerintah hanya mengakui adanya lembaga-lembaga masyarakat pemakai/ pengelola air (HIPPA, Subak, Tuo Banda, Mitra Cai, dsb), tetapi tidak membentuk mekanisme dan peran serta lembaga tersebut dalam pengelolaan sumber daya air.

No comments:

Post a Comment