Monday, December 26, 2011

Hidup Saya Tersiksa Karena Teater

~IDEoT memang satu tempat yang baik untuk menyiksa diri. IDEoT merupakan tempat yang tepat untuk belajar menikmati siksaan hidup. Siapa saja yang hidupnya pernah bersentuhan dengan IDEoT, maka mereka adalah orang-orang yang hidupnya pernah tersiksa. Siapa yang bertahan paling lama di IDEoT, maka ia lah orang yang paling kuat menahan siksaan hidup. Selama masih ada orang yang tersiksa, mungkin selama itu pulalah IDEoT ada.~

Awal perkenalan saya dengan IDEoT.
  1. Awalnya saya tidak mengenal IDEoT, saya hanya mengenal Mas Sinwan dan Teater SETIA (teater sekolah di SMU Negeri 4 Malang saat itu). Saya hanya anak SMU yang lugu dan tidak tahu menahu, bergabung dalam Teater SETIA, dengan Mas Sinwan sebagai pelatihnya.
  2. Kemudian saya mengenal Lekboss atau LB (disebut juga Mas Sinwan, Scene One, Xin Huan, atau beberapa varian lain yang saya tidak mengikuti perkembangannya, bahkan dengar2 kabarnya sudah berkembang menjadi Mbah Boss).
  3. Kemudian saya mengenal BHST (Bendera Hitam Setengah Tiang). Sebenarnya saya tidak terlalu kenal dengan yang satu ini, tapi juga bukan hanya sekedar tahu.
  4. Kemudian saya mengenal FPTS (Forum Pengembangan Teater Sekolah). Di lingkaran inilah saya banyak belajar tentang teater.
  5. Kemudian saya mengenal RdAA (Rumah di Atas Angin). Di lingkaran ini saya menikmati proses bermusik dan berpuisi, sungguh pengalaman berharga dan tak terlupakan.
  6. Kemudian saya mengenal IDEoT. Dan kemudian IDEoT menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup saya.
Begitulah kira-kira tentang bagaimana saya mengenal IDEoT. Saya aktif di IDEoT selama + 7 tahun, semenjak saya lulus SMA sampai sekitar 2 tahun setelah kuliah. Sejak saya mengenal IDEoT, maka sejak itu pulalah saya tidak bisa lepas dari jeratan siksaan IDEoT. Bahkan, siksaan-siksaan itu masih menjerat saya sampai saat ini, padahal saya sudah sangat jauh dari lokasi IDEoT berada (saya di Jakarta). Tapi sungguh, saya tidak pernah menyesalinya sedikit pun, kita akan tahu itu nanti di akhir tulisan ini.
Singkat cerita, selama + 7 tahun dalam kemesraan bersama IDEoT itulah saya mendapatkan banyak pelajaran, dan mampu melakukan banyak hal. IDEoT telah menginjeksi saya dengan prinsip-prinsip hidup, idealisme, dan tentunya, siksaan. Berikut ini beberapa ‘siksaan’ yang telah saya peroleh langsung dari IDEoT:
1.    Profesional dan pantang menyerah
Dalam segala keterbatasannya, IDEoT selalu mengajarkan untuk tetap profesional. Keterbatasan bukan halangan untuk bekerja dengan profesional. Karena memang sesungguhnya profesional tidak diukur dari apa yang kita kerjakan atau dengan apa kita mengerjakannya, tapi lebih kepada bagaimana kita mengerjakannya.
Teater IDEoT bukan merupakan teater yang mapan dari segi finansial. Dalam banyak kegiatan produksi, hampir dapat dipastikan bahwa keuangan selalu menjadi kendala. Sarana dan pra sarana latihan dan produksi juga terbatas, kalau pun ada, itu sudah ‘jadul’ alias kurang modern. Sehingga keuangan dan sarana yang ada tidak cukup untuk mengakomodasi ide-ide kami. Tapi keadaan tersebut tidak membuat kreativitas dan kinerja kami ikut terhambat, justru hal tersebut lah yang memacu kami untuk lebih kreatif lagi.
Begitu pun dengan jumlah anggota, pada saat saya bergabung dengan IDEoT, teater ini tidak memiliki banyak anggota. Ide-ide selalu bermunculan, program banyak, sehingga dari  banyak pekerjaan yang direncanakan, tidak didukung dengan jumlah SDM yang cukup. Pernah kejadian dalam satu pementasan, satu orang merangkap menjadi sutradara, pemain, tukang musik, tukang setting, bahkan ketua panitia. Saya sendiri heran, mengapa pada saat itu (atau mungkin juga belakangan ini) teater kurang diminati? Tapi sekali lagi, sedikit orang bukan berarti hanya mampu melakukan sedikit pekerjaan.
Tak jauh berbeda, kisah hidup saya pun mirip-mirp dengan kejadian di atas, khususnya ketika saya kuliah dan ketika awal-awal saya bekerja. Kalau boleh berbagi curhat, begini kira-kira…
Saya kuliah di FH Unibraw, dimulai tahun 2002. Selama kuliah itu, saya aktif di IDEoT, ikut serta dalam berbagai proses produksi. Sangking enjoynya di IDEoT, saya sampai merasa bahwa saya sedang kuliah di IDEoT sambil nyambi belajar hukum di Unibraw. Jadinya saya nggak punya banyak kawan di kampus, karena setiap pulang kuliah saya latihan bareng teater sekolah sampai sore, sorenya rapat FPTS, atau kadang-kadang latihan bareng IDEoT jika sedang ada proses produksi. Malam-malam sekali baru pulang, atau malah menginap di sanggar.
Sungguh tidak ada alasan untuk menomorduakan salah satu di antara teater dan kuliah. Keduanya harus tetap berjalan. Urusan kuliah dipikir dan diselesaikan di luar teater, urusan teater dipikir dan diselesaikan di luar kuliah.
Tapi rupanya teater lebih mengasyikkan dari kuliah. Walhasil, jadilah saya kelewat Ujian Akhir Semester (UAS) gara-gara ketiduran, karena malamnya nyetting buat pementasan di SMA 4. Parahnya, kejadian ini terulang sampai dua kali. Lebih parahnya lagi, kejadian ini terulang untuk mata kuliah yang sama. Jadinya saya menempuh satu mata kuliah sampai tiga semester, gara-gara tidak bisa bangun ketika jam UAS berlangsung karena malamnya nyetting. Sudah begitu, bangun-bangun langsung balik ke gedung pertunjukan, the show must go on…
Tapi pun begitu, toh saya tetap lulus tepat waktu, 4 tahun cukuplah untuk mendapatkan ijazah S1 dengan IPK cukupan (yang penting nggak jelek2 banget lah). Dan teater, jalan teruuuusss…
Setelah lulus kuliah dari FH Unibraw sekitar bulan Desember 2006, saya sangat menikmati masa-masa di IDEoT, karena saya tidak perlu lagi memikirkan kuliah. Saya bisa leluasa berteater sambil menunggu dapat kerjaan.
Tapi lama waktu berselang, lamaran-lamaran kerja yang saya kirim tak kunjung ada yang tembus. Sering sekali dipanggil untuk seleksi, tapi ujung-ujungnya tak lolos juga. Mulai labil lah saya. Bingung, tak kunjung dapat kerja padahal ingin cepat bisa kawin (heheheee…). Saya jadi berpikir, apakah saya harus hidup dari teater? Apakah benar teater adalah jalan hidup saya? Tapi bekerja di Teater (IDEoT) kan gajinya kecil, tak tentu pula (waktu itu begitu, tapi sepertinya sekarang sudah jauh lebih baik, dan semoga ke depannya bisa menyaingi gaji anggota DPR).
Setahun sudah saya menganggur. Bukan berarti saya cuma luntang-luntung tak karuan, saya tetap aktif di IDEoT. Menganggur dalam arti belum mendapatkan pekerjaan, karena kalau di IDEoT kan Kerja Bakti namanya (heheee..). Waktu itu, sebenarnya di IDEoT juga saya sudah nggak betah, tapi profesionalisme tetap harus dijaga. Meski mencoba untuk terus aktif, toh pada akhirnya juga saya jadi nggak profesional. Kreativitas, kapasitas, serta produktivitas saya di IDEoT pun merosot, bahkan saya sudah mulai kehilangan semangat hidup. Akhirnya saya tak lagi memandang ijazah yang saya miliki, saya mau bekerja apapun dan di manapun.
Jadilah, bulan Januari 2008, saya diterima bekerja di salah satu pabrik kecap lokal di Kediri. Kemudian saya ditempatkan di region Mojokerto, sebagai sales. Saya menawarkan kecap ke toko-toko, di pasar-pasar, di kampung-kampung, di mana ada toko di situ saya menawarkan kecap, berharap mereka bersedia menjual kecap saya.
Jujur saya tak betah. Saya tak bisa kerja beginian, nggak bakat jualan. Tapi saya tidak bisa kerja elek-elekan. Semua tetap saya kerjakan dengan sungguh-sungguh. Sebagai orang baru, hampir setiap pagi sebelum beangkat, gudang saya sapu. Biar ada alasan pemaaf, kalo saya nggak bisa jual kecap, setidaknya saya masih rajin nyapu gudang, hwehehehe… Belum juga ada sebulan, giliran mau gajian, saya hengkang dari pabrik kecap.
Saya pindah ke 147 (call center Telkom) di Surabaya. Yah, itung-itung, latihan vokal saya selama ini tidak sia-sia lah. Karena kerjaan di call center ngomong terus, ditambah pengalaman di pabrik kecap, jadilah saya ‘tukang ngecap’, heheee…. Selama kerja di pabrik kecap dan call center itulah saya terus mengirimkan lamaran demi mendapat pekerjaan yang lebih baik, tapi kerjaan tetap saya kerjakan semaksimal mungkin. Agar setidaknya saya tetap bekerja di situ jika tidak diterima di tempat baru.
Dan teater, ahhh, waktu itu saya sudah ill feel sama teater.
Sampai suatu ketika (masih bekerja di 147), ada 4 seleksi yang saya jalani bersamaan, dari PT Sinarmas, PLN, 116 (call center Telkomsel), dan seleksi PNS. Seleksi PT. Sinarmas, saya gagal menjadi satu pemenang dari tiga kontestan di wawancara akhir yang dilakukan di Jakarta. Tiga seleksi yang lain jalan terus, karena masing-masing seleksi jangka waktu dan tahapannya berbeda.
Kemudian, pada bulan ke empat saya kerja di 147, dua tahapan seleksi yang saya jalani (PLN dan 116) ternyata diselenggarakan pada hari dan jam yang sama, akhirnya saya memilih untuk meneruskan seleksi 116 dan melepas peluang di PLN. Dua minggu kemudian saya menjalani training di 116, dan 147 saya lepas.
Bulan Mei 2008, efektif saya bekerja di 116 Surabaya, masih sebagai call center, tapi dengan kualitas dan pendapatan yang lebih baik. Sementara itu seleksi PNS masih terus berlangsung, dan setiap ada tahapan seleksi, saya jalani dengan berbagai cara agar tetap bisa bekerja tapi juga bisa mengikuti tahapan seleksi.
Desember 2008, saya baca di pengumuman peserta yang dinyatakan lulus seluruh tahapan seleksi penerimaan PNS, nama ‘Yonathan A. Pahlevi’ menjadi salah satunya:. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Akhir Desember saya lepas 116, awal Januari saya pindah ke tempat saya bekerja sekarang.
Sungguh, IDEoT menjadi penyelamat saya ketika masa-masa menganggur itu. Dan memberikan bekal yang sebaik-baiknya untuk saya menjalani hidup sekarang dan ke depan. Saya nggak kaget dengan yang namanya kerja maksimum tapi pendapatan minimum, atau kerja dengan fasilitas yang serba terbatas, atau improvisasi ketika bingung dan tidak ada panduan. Hal itu memang berlawanan dengan anggota DPR kita yang benar-benar menerapkan prinsip ekonomi: “mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dengan pengorbanan sesedikit mungkin”.


2.    Etos Kerja Tinggi dan Ikhlas
Suatu ketika, waktu itu hari Kamis, 10 Juni 2010, beban kerja kantor sedang tinggi-tingginya, pekerjaan saya menumpuk, dan semuanya jatuh tempo pada minggu ketiga bulan itu. Tiba-tiba saja atasan memberikan deadline, bahwa semua pekerjaan yang jatuh tempo pada minggu ketiga bulan Juni 2010 harus diselesaikan maksimal hari Senin, 14 Juni 2010. Kontan, rekan-rekan satu kantor mengeluh semua. Mereka memaki-maki sendiri, dan salah satunya nyeletuk: ”Apa-apaan ini, ogah saya jadi PNS kalau begini caranya, PNS itu kerjanya santai!”
Begitu pun saya, mana mungkin menyelesaikan semua itu hanya dalam waktu tersisa? Hanya tersisa satu hari kerja, hari jum’at, karena kami hanya bekerja 5 hari dalam seminggu. Otomatis, lemburlah kami. Rekan-rekan banyak yang mengandalkan copy paste. “Yang penting kerjaan selesai tanggal 14, soal kualitas urusan lain lah, pusing amat! Salah sendiri kasih deadline mendadak begini”, ujar salah satunya.
Entah mengapa, saya tidak bisa begitu saja melakukan copy paste tanpa memikirkan kualitas tulisan saya. Karena produk kami ini nantinya akan dibaca oleh khalayak umum, dan kami menulis produk yang ditandatangani oleh pejabat setingkat eselon satu (pimpinan tertinggi instansi). Maka apa yang dituangkan harus dipikirkan masak-masak, dengan pertimbangan yang baik, dan ada dasar yang kuat dalam penetapannya.
Disinilah saya tersiksa. Ketika rekan-rekan lain melakukan copy paste tanpa berpikir panjang, entah mengapa saya tidak bisa melakukannya. Ketika rekan-rekan lembur di hari Sabtu dan Minggu dari jam 09.00 sampai 20.00, saya menginap 5 hari 4 malam di kantor. Ketika rekan-rekan dapat menyelesaikan tugasnya hari Senin, saya baru dapat menyelesaikan 12 dari 15 produk yang seharusnya selesai Senin itu. Sekedar info, dalam keadaan normal, untuk menghasilkan satu produk kami membutuhkan waktu satu sampai dua hari.
Secara nominal, gaji yang kami terima sama, karena memang tidak ada uang lembur dari kantor. Tapi masing-masing yang kami lakukan berbeda kualitas dan kuantitasnya. Dan tidak tepat rasanya untuk menuntut lebih dari apa yang diterima atas apa yang telah dilakukan. “Toh, saya sudah biasa kerja bakti di IDEoT,” pikir saya (heheheeee…).
Ya, kalau dipikir-pikir, kerja teater di IDEoT itu merupakan kerja bakti tiada henti. Kerjanya berat, menyita waktu, perasaan, energi, dan pikiran, serta membutuhkan pengorbanan, tapi bayarannya kecil. Tapi itu semua merupakan pendidikan hidup yang berharga, dan (kerja bakti) itu bukan merupakan sebuah kesalahan. Tentunya, yang kita dapatkan adalah jauh lebih dari yang kita tahu, jika kita menyadarinya. Kalau saya saja baru kerja bakti di IDEoT selama + 7 tahun, bagaimana dengan Lekboss yang terus kerja bakti selama + 27 tahun? Atau bahkan sampai akhir hayatnya? Atau bahkan kerja baktinya terus berlanjut meski hayatnya sudah berakhir?
Nah inilah pelajaran hidupnya, IKHLAS.
Dan saya percaya, bahwa Tuhan tidak pernah menutup mata Nya atas segala apa yang kita lakukan. Jika kita merasa belum mendapatkan balasan yang setimpal atas apa yang telah kita lakukan, maka itu tandanya kita kurang bersyukur, karena sesungguhnya Tuhan selalu memberikan melebihi dari apa yang kita butuhkan jika kita menyadarinya.
3.    Idealis
Teater tanpa idealisme adalah percuma, tidak berarti apa-apa, tidak mengajarkan apa-apa, juga tidak mewarnai kehidupan siapa-siapa. IDEoT mengajarkan kepada saya untuk memiliki idealisme dalam hidup. Ini menyiksa saya karena ternyata begitu sulitnya menegakkan dan mempertahankan idealisme. Saya pribadi tidak pernah bercita-cita menjadi seorang yang idealis, tapi IDEoT menanamkan pentingnya menjadi seorang yang idealis.
Lekboss pernah bilang: “Berteater itu adalah proses belajar untuk menjadi manusia yang benar!!!”. Oke LB, tapi itu tidaklah mudah. Menjadi orang yang benar di zaman ini tidaklah mudah. Pelajaran menjadi manusia yang benar di zaman ini merupakan pelajaran yang sangat tidak populer. Dan mungkin itu juga yang menjadikan IDEoT tidak populer, karena mungkin orang-orang sudah tidak lagi peduli dengan hidupnya.
Berteater (atau belajar hidup) di IDEoT tidaklah mudah, saya sendiri mengalaminya. Semua orang mungkin bisa masuk dan bergabung dengan IDEoT, tapi tidak banyak yang bisa bertahan. Memang IDEoT bukan satu-satunya tempat belajar tentang hidup yang benar, tapi tempat-tempat seperti itu sudah banyak ditinggalkan orang dan hibernasi satu demi satu. Mungkin Lekboss belum menjadi manusia yang benar, tapi dia adalah orang yang mengajar kita dengan hidupnya.
Tapi itu bukan berarti bahwa IDEoT harus berubah menjadi sesuatu yang populis. Bukan berarti bahwa berteater di IDEoT harus berubah menjadi belajar hal yang mudah. IDEoT akan dan harus selalu menjadi IDEoT dengan jatidirinya, dengan idealismenya.
Sementara itu, di tempat saya bekerja (atau mungkin di semua instansi di negeri ini), KKN tidak dapat dengan mudah dihilangkan, itu seperti virus yang kebal obat dan terlanjur mengalir dalam urat nadi kehidupan masyarakat kita. Di sinilah idealisme itu diuji, karena rupanya hukum supply and demand yang berlaku. Jika ada yang menawarkan ‘gayung’, maka tinggal apakah akan menyambutnya atau tidak. Batas antara yang hak dan yang batil dibuat sekabur mungkin.
Begitu sulitnya menjadi orang yang jujur di tengah-tengah keadaan yang tidak jujur. Melakukan yang diyakini benar, tapi malah terkucilkan, dianggap kolokan, naif, sok suci, dicibir, diancam, atau apalah bentuknya. Keadaan tidak ideal ini masih berlanjut (dan mungkin akan selalu ada), lantas berapa lama akan mampu menjadi seorang idealis.
Itulah tiga di antara banyak pelajaran hidup yang saya dapat. Meski ketiganya itu tidak selalu dapat saya tegakkan, tapi setidaknya itu sudah mengalir dalam diri saya. Sungguh demi Tuhan saya bersyukur atas semua ini.
Terlepas dari itu semua, terima kasih Lekboss, kau orang yang mengajarkan pada saya tentang hidup. Semoga Allah memuliakanmu, dunia dan akhirat. Amin.
~Belakangan ini, para orang tua makin memanjakan anak-anak mereka. Mereka takut jika anaknya menderita dalam hidupnya. Mereka takut anak-anak mereka tersakiti. Mereka tidak mau anak-anak mereka jatuh dan terluka, tersungkur dan tak berdaya. Mereka tidak rela anak-anaknya hidup, bahkan untuk sekedar belajar tentang hidup. Dan teater, dapat membuat mereka itu melek hidup.~
So, akhir kata, bagi siapa saja yang penasaran tentang ‘nikmatnya siksaan hidup’, segeralah bergabung bersama IDEoT. Bagi siapa saja yang pernah bergabung tapi belum bisa menikmati siksaan hidup, maka saya sarankan Anda kembali untuk menuntaskan pelajaran yang belum usai. Bagi siapa saja yang merasa sudah mendapatkan apa yang semestinya didapat dari IDEoT, maka IDEoT akan selalu terbuka kapanpun Anda ingin kembali. Semoga IDEoT terus menjadi yang bermanfaat, dan kita semua dapat saling memberikan manfaat dengan yang lainnya. ^__^d

Salam cinta,
Yonathan A. Pahlevi

2 comments:

  1. Keren Bro' Pengalamannya....
    Bisa jadi Inspirasi, Good Luck ya buat ke depannya....

    ReplyDelete
  2. Thanks for the comment. Sukses buat Anda dan kita semua...

    ReplyDelete