Oleh: Yonathan A. Pahlevi (11010112410004)
Undang-undang merupakan produk politik, karenanya
undang-undang akan merefleksikan kepentingan pembuatnya, dalam hal ini
penguasa. Sebagai sebuah produk politik, maka dalam undang-undang pun
terkandung kebijakan politik. Hukum merupakan frame dari kebijakan, kebijakan
yang didukung dengan hukum, atau diwujudkan dalam bentuk hukum, akan menjadi
kebijakan yang legitimate dan memiliki daya paksa.
Mengingat fungsi hukum sebagai tool of social control
dan tool of social engineering, maka perwujudan kebijakan publik dalam
bentuk hukum harus terus dicermati agar kebijakan yang diterbitkan memberikan
perlindungan bagi masyarakat dan mewujudkan kesejahteraan umum.
Terdapat beberapa model kebijakan publik, diantaranya
adalah model Elit-Massa, model Institusional, model Inkremental, dan model
Rasional-Komprehensif. Satu kebijakan mungkin akan mencakup beberapa model,
namun tentu akan dapat dicermati model mana yang paling dominan.
Dalam paper singkat ini akan dikaji mengenai rumusan
Pasal 9 ayat (1) UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Redaksi Pasal 9
ayat (1) tersebut adalah sebagai berikut:
"Hak guna usaha air dapat
diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya."
Pengaturan mengenai hak guna usaha air ini masih sangat
terbatas. UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tidak mengatur secara
rinci mengenai hal ini dan mengamanatkan pengaturan lebih lanjut pada tingkat
peraturan pemerintah. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 10 UU Sumber Daya Air.
Sampai saat ini pemerintah baru membuat RPP tentang Hak Guna Air, yang di
dalamnya akan diatur juga mengenai hak guna usaha air. Air merupakan salah satu
unsur utama kehidupan, oleh karenanya penting dicermati model kebijakan
mengenai hak guna usaha air untuk menganalisa sikap pemerintah terhadap sektor
yang menguasai hajat hidup orang banyak ini.
Analisa:
1. Penguasaan atas air dan sumber daya air seharusnya
menjadi bagian dari kebijakan yang bermodel konstitusional, mengingat Pasal 33
ayat (3) UUD NRI 1945 telah dengan tegas menempatkan penguasaan atas air berada
pada negara. Hak atas air bersih merupakan bagian dari hak untuk hidup,
mengingat manusia memiliki komposisi tubuh 80% terdiri dari air dan tidak dapat
hidup tanpa air. Tepat jika kemudian dirumuskan dikuasai negara karena negara
harus menjamin kelangsungan hidup warga negaranya.
2. Bahwa konsep hak guna usaha air tersebut lebih
mengedepankan nilai ekonomi air. Pengusahaan air boleh dilakukan oleh
pemerintah maupun swasta yang telah memiliki izin. Perusahaan pemegang hak guna
usaha air tentu akan mengedepankan profit sebagai motif utama usahanya.
Keberadaan profit sebagai motif utama tentu bertentangan dengan hak masyarakat
atas akses pada air untuk kebutuhan sehari-hari yang bermotif air untuk semua
atau kekeluargaan.
3. Air seharusnya merupakan bagian dari barang tambang
karena fakta bahwa tidak ada perusahaan yang bisa memproduksi air. Berdasarkan
sifatnya yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka seharusnya penguasaan
dan pengelolaan sumber daya air dilakukan oleh pemerintah, seperti halnya
penguasaan dan pengelolaan tentang listrik. Model kebijakan yang tepat adlah
model rasional-komprehensif. Analisa yang mendalam dan holistik perlu dilakukan
mengingat kerentanan sumber daya air, yang jika menggunakan paradigma ekonomi
(profit oriented) akan mengancam kelestarian sumber daya air.
4. Bahwa izin atas hak guna usaha air tersebut diberikan
oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Arah kebijakan yang top-down
menunjukkan bahwa kebijakan pemberian izin hak guna usaha air bersifat elitis.
Pemerintah selaku penguasa sumber daya air menentukan pemberian izin dan tanpa
keterlibatan pertimbangan masyarakat di dalamnya. Mengingat izin tersebut
merupakan keputusan dari institusi, maka pemberian izin hak guna usaha air
tersebut juga bersifat institusional.
5. Kebijakan penerbitan hak guna usaha air ini sebenarnya
tidak sejalan dengan konsep penguasaan air oleh negara. Hak guna usaha air
menjadi bagian dari kebijakan yang bersifat elit-massa berdasarkan beberapa hal
berikut:
a) Tidak adanya kontribusi masyarakat untuk memberikan
pertimbangan dalam mekanisme pemberian izin. Kearifan lokal masyarakat adat
dalam pengelolaan sumber daya air seharusnya dijadikan salah satu pertimbangan
utama dalam pemberian izin hak guna usaha air, mengingat biasanya masyarakat
setempat telah hidup selaras dengan alam sekitarnya selama bertahun-tahun.
b) Peraturan yang mengatur hak guna usaha air kurang jelas
dan tegas, terutama dalam hal kewajiban pemegang izin untuk mengembalikan
keadaan sumber daya air yang rusak oleh kegiatan usahanya.
c) Dalam penerbitan izin hak guna usaha air, pemberi izin
hanya mempertimbangkan ketersediaan air dan alokasinya, namun tidak diatur
mengenai potensi kerusakan sumber daya air dan penurunan daya dukungnya bagi
kelangsungan masyarakat yang mengakses air bagi kebutuhan sehari-hari.
Seharusnya pemberi izin memiliki analisa yang bersifat prediktif dan preventif.
Lemahnya peran masyarakat dalam melakukan kontrol atas
pelaksanaan hak guna usaha air. Pemerintah hanya mengakui adanya
lembaga-lembaga masyarakat pemakai/ pengelola air (HIPPA, Subak, Tuo Banda,
Mitra Cai, dsb), tetapi tidak membentuk mekanisme dan peran serta lembaga
tersebut dalam pengelolaan sumber daya air.
No comments:
Post a Comment