Disusun oleh: Yonathan A. Pahlevi, SH.
Korupsi, menurut rumusan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, adalah perbuatan yang secara melawan hukum dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Sejatinya, dalam kaitannya dengan azas
legalitas dan teori pelabelan (labelling
theory), korupsi hanyalah satu dari banyak macam tindakan yang diberikan
label sebagai tindak pidana oleh hukum positif. Dalam terminologi hukum secara
umum, sebenarnya tidak dikenal istilah ‘Corruption
is an extraordinary crime’,
tetapi lagi-lagi hal tersebut hanyalah label yang diberikan para pakar hukum di
Indonesia, yang kemudian dimasukkan dalam rumusan penjelasan umum UU KPK, untuk
menunjukkan bahwa korupsi sudah menjadi gejala tindak pidana yang sistematis, mengakar
dalam dan menggerogoti pilar-pilar negara. Sejalan dengan label-label di atas,
maka diperlukan satu badan khusus dengan kewenangan yang extraordinary pula untuk memberantas korupsi. Dengan bernafaskan semangat
pembentukan pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagaimana
dihembuskan di era awal reformasi, maka pada tahun 2003 dibentuklah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menilik
rekam jejak kasus korupsi yang ditangani oleh KPK, situs Wikipedia telah
mencatat berbagai prestasi pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK sejak tahun
2004. Dengan demikian menjadi sangat wajar jika pada akhirnya publik meletakkan
harapan besar pemberantasan korupsi (hanya) pada KPK, karena secara luas publik
menilai kinerja kejaksaan dan kepolisian sebagai garda depan penegakan hukum
masih belum terlalu dapat diandalkan, apalagi untuk kasus-kasus korupsi.
Akhir-akhir
ini, banyak pihak, yang diduga ingin melestarikan ‘budaya’ korupsi, merasa
terancam dengan tingkah laku KPK. Sebagaimana telah ramai diberitakan
sebelumnya, Polri sebagai institusi yang seharusnya bekerjasama dan mendukung
KPK dalam pemberantasan korupsi, melakukan penyidikan atas kasus korupsi yang
sedang ditangani KPK (kasus pengadaan simulator untuk memperoleh SIM). Tidak
cukup sampai di sana, Polri pun melakukan penarikan 20 penyidiknya di KPK yang
telah habis masa tugasnya sebagai penyidik KPK. Padahal KPK sedang menangani
kasus-kasus besar dan kekurangan penyidik. Tidak dapat dipungkiri jika kemudian
masyarakat awam pun menilai tindakan Polri tersebut sarat dengan kepentingan
sektoral, menutupi perilaku koruptifnya selama ini, terutama kasus simulator
yang kini sedang ditangani KPK.
Tingkah
laku DPR pun menunjukkan gejala pelemahan KPK. Anggaran pembangunan gedung KPK
sebenarnya telah disetujui DPR dan pemerintah melalui APBN 2012 dengan nilai Rp
72,8 miliar atau sekitar 4,7 persen dari seluruh usulan gedung baru untuk
lembaga penegak dan pelaksana hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung,
dan Kepolisian RI. Akan tetapi, pada praktiknya, DPR berusaha menghalangi pencairan
anggaran untuk membangun gedung tersebut. Salah satu yang dilakukan adalah
memberikan tanda bintang pada anggaran dimaksud sehingga belum dapat dicairkan.
Terhadap pembangunan gedung lembaga lain, hal ini tak pernah terjadi.
Rencana Revisi UU KPK oleh Komisi III DPR
Komisi
III DPR berencana merubah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi. Draft usul revisi UU KPK telah sampai ke Badan Legislatif DPR. Poin-poin
penting dari draft RUU perubahan UU KPK adalah:
1.
pengalihan
wewenang penuntutan ke Kejaksaan Agung;
2.
pembentukan
dewan pengawas KPK yang ditunjuk DPR;
3.
memberi
kewenangan penghentian penyidikan;
4.
memperketat
mekanisme penyadapan; dan
5. usulan bahwa KPK tidak boleh merekrut
penyidiknya sendiri.
Beberapa
alasan yang dikemukakan oleh DPR terkait rencana revisi UU KPK tersebut antara
lain:
- revisi tersebut demi perlindungan atas hak asasi privasi warga negara dari kemungkinan penyalahgunaan kewenangan dalam penyadapan;
- penghilangan fungsi penuntutan agar KPK fokus di pencegahan dan penyelidikan serta penyidikan saja;
- sedangkan penuntutan dialihkan ke kejaksaan sebagaimana ditentukan UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan;
- menghilangkan tumpang tindih fungsi antar institusi dalam penegakan hukum.
Wacana revisi UU KPK yang digulirkan
Komisi III DPR merupakan "serangan balik" dari lembaga perwakilan
rakyat. Tindakan KPK yang menjerat sejumlah anggota DPR dalam kasus korupsi
membuat beberapa pihak merasa terganggu dan terancam, sehingga perlu melakukan
langkah-langkah tertentu untuk melemahkan KPK, atau setidaknya membuat
pertahanan pribadi dan kelompoknya dari serangan KPK.
Rencana revisi tersebut tentu saja
memunculkan pro dan kontra, baik di internal Komisi III DPR, maupun di kalangan
masyarakat luas. Mereka yang pro menilai bahwa sudah saatnya UU KPK direvisi,
perlu penataan secara sistematis mengenai proses penyadapan, dan pentingnya
lembaga pengawas KPK. Pihak-pihak yang kontra menilai bahwa rencana tersebut,
sesuai dengan draft RUU perubahan UU KPK, hanya akan mengurangi dan lebih membatasi
kewenangan KPK, sehingga KPK akan semakin lemah.
Apa yang sebenarnya melatarbelakangi dan inti dari permasalahan rencana revisi UU KPK?
Secara singkat, beberapa pihak,
termasuk salah satunya beberapa anggota DPR khususnya yang berada di Komisi III
DPR, merasa tidak nyaman dengan kehadiran dan tindakan-tindakan KPK. Keberadaan
KPK dinilai mengancam kehidupan mereka, dalam arti bahwa ruang gerak mereka
terbatasi oleh kewenangan KPK, utamanya terkait penyadapan. Secara lebih luas,
mereka beranggapan bahwa kebebasan dan ruang privasi publik dalam berkomunikasi
menjadi seolah-olah hilang dengan adanya kewenangan penyadapan KPK, seolah-olah
kewenangan penyadapan KPK tersebut telah melanggar HAM.
Hal tersebut menjadi salah satu alasan
bagi beberapa anggota Komisi III DPR, atau para pemilik kepentingan yang berada
di belakang mereka, untuk memicu dilakukannya revisi UU KPK. Patut diduga, para
penggagas revisi UU KPK tersebut merupakan oknum-oknum yang gemar melakukan
deal-deal politik tertentu, yang kemungkinan besar sarat dengan kepentingan sektoral
ataupun dekat dengan praktek korupsi. Mereka berusaha untuk mengamankan posisi dan
mengembalikan ruang privasi komunikasinya. Cara yang ditempuh adalah dengan
membuat panjang birokrasi penyadapan, dengan permintaan izin tertulis terlebih
dahulu oleh Ketua KPK kepada Ketua Pengadilan Negeri. Semakin panjang birokrasi
penyadapan dikhawatirkan akan memperlama proses penyadapan sehingga kemungkinan
data atau bukti yang hilang akan semakin besar. Permintaan izin dapat
mengakibatkan konflik kepentingan jika kasus korupsi tersebut menyangkut
pengadilan. Hal lain, menurut Badan Legislatif DPR, pembatasan waktu penyadapan
yang cukup pendek membuat KPK tidak leluasa dalam mengumpulkan alat bukti.
Kemudian mengenai rencana pengembalian
kewenangan penuntutan kepada Kejaksaan Agung, merupakan bagian dari upaya
sistematis dan legal yang dilakukan untuk mengurangi kewenangan KPK, yang tentu
saja akan secara langsung berdampak pada lemahnya pemberantasan korupsi. Sistematis
karena rencana revisi tersebut melibatkan organ sebesar DPR. Hulu dari
keinginan untuk merevisi UU KPK tersebut sangat mungkin berasal dari pelestari
korupsi, karena memang revisi UU KPK tersebut bernuansa pelemahan kewenangan
KPK, bukan untuk memperkuatnya. Fakta lain yang patut dicermati adalah bahwa upaya
pelemahan KPK terjadi sejak tahun 2009. Hal itu bisa ditelusuri dari
17 kali upaya uji materi terhadap UU KPK
ke Mahkamah Konstitusi yang bertujuan untuk melemahkan KPK. Upaya pelemahan
tersebut menjadi legal karena ditempuh melalui jalur hukum, selain memang
revisi UU KPK tersebut merupakan bagian dari kewenangan DPR yang menjalankan
fungsi legislasi dalam ketetanegaraan Republik Indonesia ini.
Rencana pembentukan lembaga pengawas
KPK juga menunjukkan adanya distrust
yang berkembang di antara lembaga-lembaga negara. DPR tidak percaya kepada KPK,
begitu juga sebaliknya. Hilangnya kepercayaan ini dapat diartikan bukan karena
buruknya kinerja KPK, akan tetapi lebih merupakan paradigma yang dibangun tanpa
pertimbangan dan dasar argumen yang kuat, atau secara singkatnya sebagai pengalihan
isu semata untuk mencapai tujuan utama pelemahan kewenangan KPK. Jika distrust ini terus dikembangkan, bukan
tidak mungkin dalam 10 tahun ke depan akan muncul lagi lembaga pengawas yang
mengawasi lembaga pengawas KPK, atau lembaga pengawas kinerja DPR, dan
seterusnya. Yang seharusnya dibangun adalah kedewasaan dalam berpolitik yang disertai
dengan kesadaran hukum dan bernegara. Selama setiap elit politik berpolitik
secara dewasa, maka akan tercipta iklim politik yang fair, sehat, berwawasan, dan memiliki arah yang jelas dalam sistem
demokrasi yang dianut di Indonesia.
Melihat fakta-fakta yang berkembang
secara lebih luas, dapat mengungkap kemungkinan rencana revisi UU KPK ini hanya
merupakan upaya politik yang dilakukan oleh para elit politik dan ‘manajer
konflik’ negara ini. DPR sebenarnya tidak bersungguh-sungguh ingin melemahkan
KPK dengan melakukan revisi UU KPK karena tahu pasti akan mendapat reaksi
penolakan dari berbagai pihak. Tapi isu tersebut dicetuskan untuk mengalihkan
perhatian publik dari isu lain yang mungkin lebih sensitif. Kecurigaan tersebut
muncul karena dua hal, pertama,
revisi UU KPK tersebut telah menjadi prioritas sejak tahun 2011. DPR tentu memiliki
agenda pembahasan undang-undang, baik baru maupun revisi. Agenda tersebut
seharusnya merupakan urusan dalam DPR, yang hanya diketahui oleh para anggota
DPR. Akan tetapi faktanya agenda revisi UU KPK tersebut diketahui secar luas
oleh publik. Menjadi masuk akal jika kemudian muncul penilain bahwa DPR hanya menunggu
waktu yang tepat untuk memunculkan isu tersebut. Kedua, bahwa isu revisi UU KPK tersebut merupakan isu negatif yang
dapat dimanfaatkan oleh golongan tertentu, atau partai tertentu demi
kepentingan golongan masing-masing. Rencana revisi UU KPK tersebut hanya bagian
dari sandiwara politik dalam rangka upaya pencitraan sebagai partai yang
mendukung pemberantasan korupsi, yang tujuan utamanya adalah untuk menarik
simpati masyarakat, mengingat partai-partai politik sedang giat merekrut
anggota sebagai persiapan pemilihan umum 2 tahun ke depan.
Sebagaimana diberitakan dalam berbagai
media massa, terbukti setelah rencana revisi UU KPK tersebut mendapat penolakan
besar dari rakyat dan berbagai tokoh masyarakat secara sukarela memberikan
dukungan bagi KPK, partai-partai politik ramai menyuarakan dukungan mereka
untuk membatalkan pembahasan revisi UU KPK di Komisi III DPR. Beberapa fraksi
bahkan mengklaim telah menyiapkan surat permohonan penghentian pembahasan
revisi tersebut kepada pimpinan DPR. Jika asumsi pencitraan partai itu benar,
maka proses politik seperti ini sangat tidak sehat, karena politik dan
kepercayaan publik dibangun dengan sandiwara-sandiwara. Sementara politik
merupakan sebuah agenda besar perjalanan ketatanegaraan bagi sebuah negara.
Jika politik dibangun di atas kerangka ego sektoral dan temporer, maka tujuan
kenegaraan sebenarnya dari bangsa ini bisa jadi tidak akan pernah tercapai.
Secara lebih luas, mungkin perlu kita
tarik kembali pemikiran pada sejarah perkembangan demokrasi negara ini. Rencana
revisi UU KPK tersebut tentu saja tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan
semangat yang diusung ketika peralihan dari masa orde baru ke orde reformasi.
Padahal mereka yang kini menjabat sebagai elit-elit politik di berbagai
institusi eksekutif, legislatif, maupun yudisial adalah mereka yang dulu
meneriakkan semangat reformasi dengan berbagai retorikanya. Apa yang hilang
adalah konsistensi dan komitmen untuk membentuk negara dengan pemerintahan yang
baik yang mengacu pada rumusan Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Bagaimana seharusnya (revisi) UU KPK?
Revisi UU KPK sebenarnya bukan
merupakan sebuah kesalahan, atau hal yang haram untuk dilakukan. Dalam sudut
pandang hukum administrasi negara, apakah UU KPK akan diubah, direvisi, atau
bahkan dihapuskan sama sekali terserah pada kehendak rakyat. Rakyat yang
menentukan. Persoalannya adalah, rakyat di sini diwakili oleh anggota DPR RI.
Sehingga DPR-lah yang menentukan sesuai dengan kewenangannya sebagai lembaga
yang bersama Presiden membentuk undang-undang. Yang kemudian mengemuka menjadi
permasalahan adalah nuansa atau tujuan dari revisi tersebut, tepatnya sebagai
upaya yang disinyalir akan memperlemah KPK sebagai institusi pemberantas
korupsi.
Banyak pihak juga telah menyatakan
persetujuannya untuk melakukan revisi UU KPK, selama tujuannya adalah untuk
memperkuat kewenangan KPK sehingga lembaga tersebut memiliki power lebih untuk
menangani kasus-kasus korupsi.
Hal-hal
penting yang sebenarnya perlu diatur lebih jelas antara lain:
- Tumpang tindih penyidikan antara tiga lembaga, yaitu KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Pengaturan secara lebih tegas diperlukan mengenai aturan main hubungan antara ketiga lembaga tersebut untuk menghindari konflik kepentingan antar lembaga tersebut, sehingga penanganan kasus oleh dua lembaga secara bersama-sama tidak perlu lagi terjadi.
- Kepastian supply sumber daya manusia di KPK. Pengaturan mengenai hal ini penting mengingat KPK sangat tergantung pada sumber daya manusia yang kredibel untuk menangani kasus-kasus yang tak jarang menjadi sangat berat karena kuatnya kepentingan (utamanya politik dan ekonomi) yang mengintervensi. Apa yang saat ini menjadi masalah adalah penarikan penyidik oleh kepolisian. Hal tersebut dapat dicegah jika ada ketentuan yang jelas mengenai tata cara dan status penyidik Polri yang ditugaskan di KPK, terutama pada saat KPK sangat membutuhkan penyidik dalam jumlah besar.
Beberapa wacana tentang pengaturan KPK
pada tingkat konstitusi juga diutarakan oleh beberapa ahli hukum. KPK
selayaknya dimasukkan dalam UUD 1945 agar uji materi yang bertujuan melemahkan
KPK tidak terjadi lagi. Sebab, di negara yang sukses melakukan pemberantasan korupsi,
institusi antikorupsi dimasukkan dalam konstitusi dasar.
Kalaupun tidak dilakukan revisi
terhadap UU KPK tersebut, sebenarnya UU KPK yang ada saat ini sudah cukup
efektif sebagai landasan hukum pemberantasan korupsi oleh lembaga itu. Selama
pihak lain atau institusi lain memiliki semangat yang sama dalam pemberantasan
korupsi, tentunya hal-hal teknis yang mungkin berbenturan dengan kewenangan
masing-masing institusi dapat dengan mudah ditemukan jalan keluarnya. Mengutip
pandangan Aristoteles, “bukan ‘rule of
law’ yang menyelamatkan kehidupan, tetapi ‘rule by a good person’. Yang kita butuhkan untuk membangun negara
ini bukan semata konstruksi hukum yang baik, tetapi pemimpin-pemimpin yang
mempunyai integritas dan visi yang prima untuk membawa negara ini menuju
kemakmuran yang hakiki.
Sumber: isu-isu
dan fakta dalam tulisan ini dirangkum dari berbagai media antara lain: Kompas,
Jawa Pos, The Jakarta Post, Wikipedia.
No comments:
Post a Comment