Disusun oleh: Yonathan A. Pahlevi, SH.
Hukum alam (Natural Law atau Law of Nature) adalah sistem hukum yang konon ditentukan oleh alam, dan oleh karenanya bersifal universal.[1]
Teori-teori Hukum Alam dapat
dibagi atas beberapa macam yaitu:[2]
1. Hukum Alam yang bersifat otoriter dan yang
bersifat fakultatif. Hukum Alam sebagai hukum yang mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi daripada hukum positif (ius constitutum), di lain sisi Hukum Alam
sebagai cita-cita (ius constituendum) dengan mana hukum positif harus
disesuaikan;
2. Hukum Alam yang progresif (maju/ dinamis) dan
yang konservatif (kaku/ statis). Teori ini diilhami oleh dua macam cita-cita,
pertama, adanya ketertiban/ keteraturan (order) yang menguasai umat manusia
yang nantinya melahirkan hukum positif, kedua, hak-hak azazi yang tidak dapat
dipisahkan dari orang perorang yang nantinya melahirkan hukum-hukum yang
sosiologis.
3. Hukum Alam yang relijius/ agamis dan yang
profane/ rasionalis. Hukum Alam memberi ilham kepada kaum relijius/ agamis,
dilain sisi ia juga mengilhami teori-teori kaum Individualistis.
4. Hukum
Alam yang bersifat mutlak/ absolut dan yang bersifat relative/ nisbi.
Feodalisme yang mencerminkan hukum absolute atau hukum Jawa Kuno dengan
ungkapan “sabda pandhito ratu”.
Para Pemikir Teori Hukum Alam
Cukup banyak
filsuf yang menjadi pemikir atau penggagas teori hukum alam. Pemikiran
masing-masing tokoh hukum alam tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Plato (472-347 SM), meskipun Plato
tidak memiliki teori secara eksplisit mengenai hukum alam, namun pemikirannya
tentang alam, menurut John Wild, mengandung beberapa elemen yang ditemukan
dalam teori hukum alam.[3] Menurut
Plato, kita semua hidup dalam dunia yang tertata.[4] Inti
dari dunia yang tertata ini, atau alam, adalah bentuk-bentuk, yang paling
fundamental adalah Bentuk Kebaikan, yang Plato menguraikannya sebagai “wilayah
yang paling cemerlang dari suatu makhluk”.[5] Bentuk
Kebaikan adalah asal mula segala hal dan jika itu terlihat maka akan menuntun
seseorang untuk berbuat secara bijak.[6]
2. Menurut
Aristoteles (384-322 SM), Hukum Alam
ialah “Hukum yang oleh orang-orang berpikiran sehat dirasakan sebagai selaras
dengan kodrat alam.”[7]
Segala yang diperintahkan oleh hukum dapat berbeda antara tempat yang satu
dengan tempat yang lain, tetapi segala yang diperintahkan “oleh alam” akan
selalu sama dimanapun. Oleh karenanya, hukum alam lebih merupakan sebuah
paradoks daripada sesuatu yang secara nyata eksis/ ada.[8]
3. Menurut Marcus Tullius Cicero (106-43 SM),
dengan aliran stoic-nya, konsep Hukum
Alam diartikan sebagai prinsip yang meresapi alam semesta, yaitu akal yang
menjadi dasar bagi hukum dan keadilan.[9] Tujuan
dari hukum positif adalah untuk menciptakan ‘keamanan penduduk, pelestarian
negara, dan kedamaian dan kebahagiaan umat manusia’. Menurut pandangan ini,
‘undang-undang yang kejam dan tidak adil’ adalah ‘bukan hukum’, karena di dalam
definisi hukum yang sebenarnya terkandung ide dan prinsip untuk memilih yang
adil dan benar.[10]
4. Menurut
Thomas van Aquino (1225-1274), penganut
hukum alam dari aliran scholastik, bahwa segala kejadian di alam dunia ini
diperintah dan dikemudikan oleh akal ketuhanan, hukum ketuhanan adalah yang
tertinggi. Hukum dibagi ke dalam empat golongan:
- Lex Aeterna, rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala sesuatu dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusai;
- Lex Divina, bagian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap panca indera manusia berdasarkan waktu yang diterimanya;
- Lex Naturalis, hukum alam, yaitu penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia;
- Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berkaitan dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum positif dibagi menjadi dua, yaitu hukum positif yang dibuat oleh Tuhan (kitab-kitab suci) dan hukum positif yang dibuat oleh manusia.[11]
5. Hugo de Groot (1583-1645), dalam
bukunya “De jure belli ac pacis” (tentang hukum perang dan damai), mengatakan
bahwa sumber Hukum Alam adalah pikiran atau akal manusia. Hukum alam ialah pertimbangan
yang menunjukkan mana yang benar dan mana yang tidak benar.[12]
Fungsi Hukum Alam
Menurut Soedjono Dirdjosisworo dalam Ishaq, fungsi hukum alam terhadap
hukum positif adalah sebagai berikut:
- Hukum alam sebagai sarana koreksi bagi hukum positif.
- Hukum alam menjadi inti hukum positif seperti hukum internasional.
- Hukum alam sebagai pembenaran hak asasi manusia.[13]
Menurut Friedman
dalam Satjipto Rahardjo, fungsi hukum alam adalah sebagai berikut:
- Instrumen utama pada saat hukum perdata Romawi kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem internasional yang luas.
- Menjadi senjata yang dipakai oleh kedua pihak (pihak gereja dan pihak kerajaan) dalam pergaulan mereka.
- Keabsahan hukum internasional ditegakkan atas nama hukum alam.
- Menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan absolutisme.
- Dijadikan senjata para hakim di Amerika, pada saat memberikan tafsiran terhadap konstitusi mereka, dengan menolak campur tangan negara melalui perundang-undangan yang ditujukan untuk melakukan pembatasan ekonomi.[14]
Kekuatan dan Kelemahan Hukum
Alam
Prinsip utama
hukum alam adalah hukum tersebut bersifat universal. Nilai-nilai yang diajarkan
dalam hukum alam berlaku bagi semua pihak, tidak berubah karena kaitannya
dengan alam. Unversalitas tersebut menjadi kekuatan hukum alam, karena ia
menjadi ukuran validitas hukum positif. Hukum alam dapat digunakan sebagai
landasan dalam melakukan kritik terhadap keputusan-keputusan dan
peraturan-peraturan, dan bahkan mengkritik hukum.[15] Universalitas
ini terlihat pada pemberlakuan nilai-nilai (values)
dan moral, yakni dengan nilai-nilai yang diturunkan dari Tuhan, yang secara
filosofis menjadi acuan bagi pembentukan hukum positif. Dengan kekuatan
tersebut, hukum alam dapat memberikan jawaban atas persoalan-persoalan moral
yang tidak dapat diselesaikan oleh hukum masa kini.
Namun demikian,
universalitas tersebut juga menjadi kelemahan dari hukum alam sendiri. Karena
sifatnya yang universal, maka perlu untuk dilakukan ‘positivisasi’ nilai-nilai
dalam hukum alam tersebut, agar secara konkrit dapat diketahui bentuk hukumnya
untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sosial. Prinsip-prinsip dalam hukum alam
bersifat abstrak, sehingga perlu di-‘breakdown’
atau diterjemahkan ke dalam peraturan yang lebih konkrit.
Mengacu pada
Struktural-Fungsional (Talcott Parson), secara singkat dapat dikatakan bahwa
kekuatan hukum alam adalah pada nilai-nilainya (the values) dan kelemahannya adalah pada kekuatan berlakunya (the energy).
[1]
Strauss, Leo (1968). "Natural Law". International
Encyclopedia of the Social Sciences. Macmillan, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law
[2]
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari
Menemukan dan Memahami Hukum,Laksbang
Justitia, Surabaya, hal. 190.
[3]
Wild, John (1953. Plato’s Modern Enemies and the Theory
of Natural Law. Chicago: University of Chicago Press. p. 136 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law
[4]
Plato, Gorgias 508a dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law
[5]
Plato, The Republic, 540a, 517b–ddalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law
[6]
ibid
[7] Ishaq,
Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2008, hal. 195.
[8] Strauss, Leo (1968). "Natural Law". International
Encyclopedia of the Social Sciences. Macmillan. dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law
[9] Ishaq,
Op. cit.
[10] Cicero, De Legibus (Keyes translation), bk. 2, sec.
11 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law
[11] Ishaq,
Op. cit.
[12] ibid
[13] ibid
[14] ibid
[15] http://en.wikipedia.org/wiki/Natural_law
Hukum alam adalah hukum yg paling tetap dan tidak dpat di ganggu gugat.. sperti hal'a manusia yg berfikiran dapat mengendalikan alam tpi kenyata'an nya manusia lah yg di kendalikan oleh alam..
ReplyDeleteAku datang, aku menang by caesar
ReplyDeleteHukum alam itu bisa diartikan azab.
ReplyDelete