Tulisan ini bermula
dari video yang saya tonton pada akhir Oktober 2013 di link berikut: http://live.wsj.com/video/five-things-your-nanny-wont-tell-you/F2F3E767-BCDE-4375-A4CD-BDD9D1AE09E6.html#!F2F3E767-BCDE-4375-A4CD-BDD9D1AE09E6
Sebuah video yang sederhana sebenarnya, tetapi selesai menonton
video itu, saya jadi bertanya-tanya: Apa yang sebenarnya diperjuangkan
Kartini dengan emansipasi-nya?
Benarkah apa yang sekarang disebut 'emansipasi' adalah seperti yang dimaksud
oleh Kartini?
Banyak ibu bekerja dan menyerahkan pengasuhan anak pada baby sitter. Mereka tak mau ribet mengurus
anaknya sendiri, yang memang sebuah pekerjaan yang melelahkan, menyita waktu,
tenaga, pikiran, dan bahkan seringkali membuat emosi tinggi. Terlebih, mungkin
sebagian beranggapan bahwa ‘mengurus anak’ bukanlah pekerjaan yang keren, nggak
ada gengsinya.
Banyak ibu mengejar karir dan menyekolahkan anaknya di full day
school. Itu dilakukan sebagai
langkah yang dianggap tepat. Sang ibu bekerja, sementara anaknya berada di
sekolah dengan pengawasan yang ketat, seharian penuh. Paket full day school
menyediakan layanan lengkap, mulai sarana belajar, sarana bermain, tempat tidur,
makan siang, snack, sarana ibadah yang memadai, kegiatan ekstra-kurikulier dan
berbagai fasilitas lain. Mungkin sebagian berpikir lebih baik begitu, membayar
mahal demi anak dan sang ibu bisa tenang bekerja. Terlebih alasan pendidikan
sang ibu. Orang tuanya sudah menyekolahkannya tinggi-tinggi, maka dengan bekerja
dan menjadi wanita karir-lah cara membalas budi orang tua yang memang tidak
ternilai. Agar sekolahnya selama ini tidak sia-sia, alias ada hasilnya.
Tapi apakah pernah
ditanya kepada si anak: Apakah anak senang dengan ‘full day school’ ini? Dan kalau
pun jawaban anak adalah “iya”, maka sebenarnya ada sesuatu yang hilang dari
esensi sebuah keluarga. Bagi sebuah keluarga, seharusnya rumah menjadi pusat
dari kegiatan sehari-hari, tempat kembali, kembali dari segala rutinitas
pekerjaan dan kegiatan. Ketika anak sudah lebih memilih untuk berada di sekolah
ketimbang di rumah, maka sebenarnya ada yang salah dengan rumahnya. Dengan demikian
rumah menjadi tidak lebih dari sebuah ‘tempat persinggahan’. Jika hal ini
dibiarkan, maka setiap anggota keluarga akan memiliki ’hidupnya sendiri-sendiri’
dan memiliki ‘rumah pengganti’, yang mungkin lebih lazim disebut dengan ‘sekolah’,
‘kantor’, ‘mall’, ‘tempat kerja’, ‘tempat nongkrong’, atau ‘tempat arisan’. Jika
tidak segera disadari, bisa jadi perpecahan sebuah keluarga dimulai dari sini. Perpecahan
tidak selalu berarti perceraian, ketika anak lebih memilih ‘hidup di luar rumah’
sebenarnya juga merupakan ‘ketidakbersatuan’ sebuah keluarga.
Dan pertanyaan saya
berikutnya: Apakah seorang Soekarno dibesarkan oleh ibu yang bekerja sebagai ‘wanita
karir’? Lompatan pertanyaan ini muncul begitu saja. Saya berasumsi bahwa tokoh
besar ini bukan anak dari seorang wanita karir. Ibunya tentu berperan besar
dalam membentuk karakter seorang Soekarno. Sekali lagi ini asumsi, perlu saya
telusuri lebih lanjut mengenai hal ini.
Saya tidak menentang
wanita bekerja. Wanita bekerja menurut saya adalah boleh jika membawa kebaikan,
atau jika meminjam istilah Islam adalah mubah. Tapi waktu haruslah menjadi
pertimbangan penting. Waktu dapat diartikan sebagai rentang dalam sehari, atau
sebagai saat di mana seorang ibu bisa mulai bekerja. Saya cenderung memulai
dari pendekatan kedua, yakni tentang kapan sebaiknya seorang ibu bekerja.
Menurut saya, saat yang tepat bagi seorang ibu untuk bekerja adalah sebelum
mempunyai anak dan/atau ketika tidak mempunyai anak yang berumur di bawah 6
tahun. Hal ini penting karena masa-masa sebelum 6 tahun adalah masa-masa
membangun kedekatan antara anak dan orang tua. Ibu bisa memberikan ASI
eksklusif sampai anak berumur 2 tahun, tanpa perlu bingung menyimpannya dalam
botol di kulkas. Ibu bisa mengamati perkembangan anak secara langsung, bukan
berupa laporan dari baby sitter-nya. Ketika sang ayah sudah disita waktunya
untuk pekerjaannya, maka setidaknya ada figur ibu yang menemani si anak. Terlebih
untuk menjelaskan kenapa sang ayah tidak bisa menemaninya sepanjang waktu. Saat-saat
inilah nilai-nilai kehidupan mulai ditanamkan. Bagaimana menghargai ayah yang
bekerja, mengenal kasih sayang yang sebenarnya dari ibu, mengenal ayah dan ibu
sebagai figur utama yang akan dijadikan panutan baginya, nilai-nilai agama,
sopan santun, kebersihan, dan sebagainya.
‘Ketidakhadiran’
seorang ibu, pada masa-masa sebelum 6 tahun sebenarnya akan dibayar mahal
ketika anak beranjak remaja. Anak yang belum tuntas mengenal arti kasih sayang akan
mencari sendiri bentuk kasih sayang itu. Mungkin anak akan mendapatkannya dari
orang tua temannya, temannya, pacarnya, atau lingkungannya secara umum. Berbahaya
adalah jika anak salah memahami arti kasih sayang, misalnya mengartikan kasih
sayang yang sebenarnya sebagai kesetiaan kepada pacarnya, yang kemudian bisa
berujung pada seks pra nikah. Belum lagi nilai-nilai lain seperti sopan santun
dan budi pekerti.
Jika nilai-nilai
teresebut tidak ditanamkan sendiri oleh ibu, maka kecil kemungkinan anak akan
mendapatkannya dari sumber lain. Guru sudah disibukkan dengan mata pelajaran,
silabus, kurikulum, soal ujian, nilai, dan berbagai persoalan kelas atau
sekolah. Sudah menjadi terlalu berat bagi seorang guru untuk menjalankan
tugasnya sebagai ‘tenaga pendidik’, ketika menjadi ‘tenaga pengajar’ saja sudah
kewalahan. Adalah berbeda antara ‘tenaga pendidik’ dan ‘tenaga pengajar’. Sebagai
pengajar, guru cukup menyampaikan materi pelajaran sesuai kurikulum dan
menyerahkan pada siswa (dan orang tuanya) hal lain di luar pelajaran. Di lain
pihak, sebagai pendidik, guru dituntut juga untuk membentuk karakter siswanya,
menanamkan nilai dan norma. Tugasnya tidak berhenti hanya sebatas menyampaikan
materi, tetapi adalah juga sebagai ‘orang tua pengganti’ bagi siswa selama
siswa berada di sekolah.
Kembali lagi pada
persoalan emansipasi. Bagaimana dengan pendidikan sang ibu? Tidakkah sia-sia
sekolah tinggi hanya untuk mengurus anak? Tidak. Pendidikan berperan penting
membentuk pola pikir dan meningkatkan kecerdasan seorang ibu. Hal ini penting,
karena kecerdasan ibu-lah akan diturunkan kepada anaknya. Jadi, sekolah tinggi
bagi seorang wanita tidak akan pernah sia-sia.
Kemudian apa yang
sebenarnya diperjuangkan oleh Kartini? Apa arti dari kesetaraan? Apakah itu
berarti kesempatan yang sama? Perlakuan yang sama? Hak dan kewajiban yang sama?
Tugas dan fungsi yang sama? Jika kesetaraan diartikan sebagai sama rata, maka
itu menyalahi hukum Tuhan. Tuhan menciptakan berbeda antara pria dan wanita. Kesetaraan
bisa dicapai hanya dengan perlakuan yang berbeda. Berbeda dalam arti sesuai
dengan fitrahnya, dengan asalnya, dengan hakikatnya sebagai pria dan wanita. Keseimbangan
bisa dicapai jika pria dan wanita mempunyai fungsi dan peran yang berbeda.
Apalah artinya 'kesetaraan' jika pada akhirnya ada yang menjadi
korban: anak. Lantas siapa yang akan mengajarkan nilai luhur bangsa ini? Baby
sitter kah? guru di sekolah kah? atau internet? Dengan berat hati saya katakan, bahwa tanggung jawab
untuk mewariskan nilai luhur bangsa ini sebenarnya ada di pundak para ibu.
Salam,
Yonathan.
Salam,
Yonathan.
No comments:
Post a Comment